Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... desain grafis, blogger, -

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kompas Gramedia. Maskarja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membuka Tabir "Oplas" Ratna Sarumpaet dan Kegagalan Aksi Demo Berjilid!

6 Oktober 2018   09:38 Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:33 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo/sumber: Kumparan.com.Desain: Sukarja

Kalau saya perhatikan, beberapa tahun terakhir ini, kondisi politik di Indonesia sudah semakin jauh dari kata ideal. Setidaknya, hal ini saya melihatnya dari kegagalan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat memenangkan kontestasi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu.

Dalam hitungan survei, jelas pasangan petahana Ahok-Djarot sulit terbendung oleh lawan-lawannya. Hal ini terjadi karena memang sebagian besar warga Jakarta begitu merasakan adanya perubahan besar-besaran telah terjadi (dimulai sejak Jokowi-Ahok), yang dahulu tak pernah dijumpai di ibukota negara ini. Sehingga kemungkinannya, Ahok-Djarot bisa kembali memimpin DKI.

Namun, apa yang terjadi di luar dugaan. Ahok dan Djarot gagal kembali berkantor di Balaikota DKI. Kegagalan ini bukan dikarenakan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah lawan yang tangguh. Bukan pula karena Ahok-Djarot kalah pengalaman memimpin dibandingkan Anies-Sandi. Kegagalan Ahok-Djarot lebih dikarenakan faktor lain yang begitu masif dilakukan, yaitu aksi demo berjilid, yang menyertai kasus penistaan agama yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu.

Kasus yang menyertai Ahok tentu saja tidak sama jika dibandingkan dengan adanya 11 calon kepala daerah yang dilantik meskipun berstatus tersangka korupsi. Calon kepala daerah yang berstatus  tersangka dalam kasus korupsi, ternyata tidak selalu berdampak negatif secara elektabilitas. Kenyataannya, beberapa calon kepala daerah yang sudah berstatus tersangka, tetap memenangkan pemilihan. Inilah yang membedakannya dengan kasus Ahok, bahwa ke-11 calon kepala daerah tersebut tidak didemo secara masif sehingga masyarakat tetap berani untuk memilihnya.

Lantas, mengapa saya mengaitkannya dengan kasus yang mendera Ratna Sarumpaet? Menurut saya, apabila pihak Kepolisian tidak berhasil menyelidiki dan membuktikan bahwa apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet  bukanlah aksi pengeroyokan seperti yang diakuinya. Bukan tidak mungkin akan ada aksi lanjutan.

Menurut saya, aksi lanjutan yang akan dilakukan kelompok tertentu ini, tentu isinya meminta pengusutan dan penangkapan pelaku kekerasan kepada Ratna Sarumpaet untuk segera dilakukan. Polisi akan kesulitan mencari pelakunya, karena memang kejadian kekerasan itu hanya rekaan saja.

Bila itu yang terjadi, maka aksi demo bisa berlangsung panjang, bahkan bisa berjilid-jilid, melebihi aksi yang terjadi ketika publik meminta Ahok diadili secara hukum. Bisa jadi demo akan terus berlangsung hingga gelaran Pilpres 2019 nanti. Hal ini, bisa kita lihat dari postingan instagram politisi Partai Demokrat Inggrid Kansil (sudah dihapus) yang tak lain istri dari Waketum Demokrat Syarief Hasan, yang bersama artis Dorce Gamalama menunjukkan pamflet pembelaan terhadap Ratna. Dengan kata lain, sebelum kebohongan Ratna terungkap, pamflet sudah dicetak sedemikian rupa untuk aksi demo.

Postingan Inggrid Kansil dan Dorce Gamalama saat memperlihatkan pamflet dukungan untuk Ratna Sarumpaet./Jpnn.com
Postingan Inggrid Kansil dan Dorce Gamalama saat memperlihatkan pamflet dukungan untuk Ratna Sarumpaet./Jpnn.com
Nah, bila aksi demo berjilid-jilid itu terjadi, tentu saja target utamanya bukan pada institusi Kepolisian saja, yang lebih utama adalah Pemerintahan yang berkuasa, dalam hal ini ada upaya menggoyang Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mungkin menurut Anda, saya terlalu jauh jika berpikir apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet bisa menggoyang Pemerintahan  Jokowi.

Secara prinsip apa pun bisa terjadi. Dalam kasus Ahok, warga DKI Jakarta akhirnya seperti dibuat rasa takut yang mencekam jika memilih Ahok-Djarot. Bahkan, ada yang ditakut-takuti tidak akan disholati jika wafat, atau akan masuk neraka jika memilih Ahok, dan sebagainya. Dengan demikian, Anies-Sandi bisa terpilih secara demokratis melalui Pilkada 2017 lalu, tanpa harus melihat aksi-aksi politik yang menyertainya.

Begitu pula, aksi demo berjilid yang kemungkinan besar akan digelar apabila Polisi tidak berhasil membuka kedok Ratna Sarumpaet, atau jika Ratna tak mengakui kebohongannya di depan publik.

Aksi demo pengusutan kekerasan pada Ratna Sarumpaet bisa jadi hanya dijadikan pemicu, sedangkan kasus-kasus lainnya bisa menjadikan kepercayaan masyarakat kepada Jokowi semakin menurun. Mulai dari kasus HAM yang belum juga terselesaikan, kasus hukum BLBI, kasus kekerasan pada penyidik KPK Novel Baswedan, utang negara, nilai tukar Dollar Amerika yang semakin tajam, dan masih banyak lagi yang bisa "digoreng"dan dijadikan dijadikan "bahan bakar" aksi demo berjilid.

Apabila aksi demo berjilid masif terjadi di seluruh Indonesia, tentu dampaknya akan semakin runyam. Kita punya pengalaman soal demo yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Selain aksi demo berjilid yang membuat elektabilitas Ahok semakin merosot, turunnya Suharto yang berkuasa selama 32 tahun itu, juga dimulai dari aksi demo besar-besaran, bukan hanya di Jakarta tetapi juga meluas di seluruh Indonesia.

Tapi, Alhamdulillah. Tuhan masih melindungi kita semua!

Dengan kesigapannya, Kepolisian menanggapi viralnya berita kekerasan yang dialami Ratna Sarumpaet.  Hasil penyelidikan Kepolisian membuktikan bahwa apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet bukanlah aksi kekerasan. Menurut Polisi, lebamnya wajah wanita berusia 70 tahunan itu adalah hasil dari operasi plastik (oplas)dari sebuah rumah sakit estetika di bilangan Menteng, Jakarta.

Para Intelektual yang "Berbohong" atas nama Rakyat

Lantas, mengapa politisi-politisi, seperti Fadli Zon, Rachel Maryam, Fahri Hamzah, politisi Demokrat Ferdinand Hutahaean, dan Dahnil Anzar Simanjuntak, serta termasuk putri politisi senior Amien Rais, Hanum Rais yang seorang dokter gigi itu ikut menyebarluaskan lebamnya wajah Ratna Sarumpaet ke media sosial? Mereka semua memviralkan bahwa lebamnya wajah Ratna Sarumpaet akibat pengeroyokan dari orang-orang tak dikenal. 

Apakah mereka semua tidak mencermatinya, melihatnya lebih jelas, memeriksanya. Karena jika ada aksi kekerasan, sebagai orang yang dikenal keras bersuara, tentu saja Ratna Sarumpaet akan melakukan perlawanan. Dan, buka tidak mungkin, ada bagian tubuh lainnya, seperti tangan atau kakinya yang memiliki tanda-tanda kekerasan. Masa lebam karena kekerasan cuma ada di wajah, dan tak ada perlawanan?

Masa sih percaya begitu saja, Ratna tidak melaporkannya kejadian itu ke pihak kepolisian setempat. Sebagai sosok aktivis, Ratna terbiasa berhadapan dengan siapa saja. Bahkan, di masa Orde Baru, dia berani menggelar pentas teater "Marsinah Menggugat" yang ditentang rezim berkuasa. Dan, semua dihadapinya dengan berani.

Masa sih Prabowo Gampang Percaya?

Saya juga merasa heran dengan apa yang dilakukan bakal calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Beliau mengunjungi Ratna Sarumpaet di kediamannya setelah mengetahui aksi kekerasan yang dialami Ratna. Apakah Prabowo tidak curiga sedikitpun, atau bisa membedakannya lebam pada wajah Ratna Sarumpaet?

Sebagai seorang bekas militer berpangkat Letnan Jenderal, Prabowo berpengalaman di medan tempur. Pengalamannya semasa di Kopassus setidaknya memberikan pengetahuan yang cukup untuk bisa membedakan, mana lebam akibat pukulan dan mana lebam akibat operasi plastik.

Bukan hanya itu, sebagai bekas militer, Prabowo tentu bisa membuktikan benar-tidaknya apa yang dikatakan Ratna Sarumpaet, baik dari cara bicaranya, kondisi atau bahasa fisik tubuhnya, dan masih banyak alasan lain yang bisa diketahui Prabowo Subianto, yang katanya memiliki kecerdasan tinggi ini.

Dalam kasus yang menimpa Ratna Sarumpaet, pihak kepolisian sudah menangkapnya dan menjadikannya tersangka. Tentu saja, apa yang terjadi perlu diusut secara tuntas, termasuk mengusut pihak-pihak yang membuat berita kebohongan kebohongan itu tersebar luas. Bayangkan saja, berapa banyak follower yang dimiliki para politisi Kubu Prabowo-Sandi yang menyebarkan hoax itu. Apalagi, beritanya juga disiarkan di semua media, bai televisi mapu media online.

Menurut saya, Prabowo  dan politisi dari kubu Koalisi Indonesia Adil Makmur lainya tidak cukup hanya meminta maaf. Pihak kepolisian perlu mengusut tuntas siapa saja yang terlibat.  

Tidak cukup hanya meminta maaf. Tidak cukup mengatakan bahwa mereka semua korban kebohongan Ratna Sarumpaet. Masyarakat tidak percaya begitu saja, orang-orang sekelas mereka kok begitu mudahnya bisa dibohongi. Lagipula, buat apa harus disebarluaskan jika belum bisa diyakini kebenarannya. Lagi pula, bukankah Ratna Sarumpaet sendiri tidak mengatakan soal penganiayaan itu ke media?

Prabowo Subianto meminta maaf terkait kabar bohong Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Prabowo Subianto meminta maaf terkait kabar bohong Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Jika kita merujuk apa yang dikatakan politisi PDIP Budiman Sudjatmiko, bahwa ada dua skenario yang bisa diciptakan dalam kasus Ratna Sarumpaet. Pertama, jika kebohongan itu tidak ketahuan, semua orang akan marah kepada pemerintah karena membuat Ratna Sarumpaet, seorang nenek berusia 70 tahunan itu dipukuli oleh sekelompok anak muda. Dan, cerita ini menjadi heroik karena Prabowo membela Ratna.

Skenario kedua, jika ketahuan berbohong, maka Ratna mengakui kesalahannya dan kembali memanfaatkan emosi publik.  Dan, skenario kedua ini juga tetap memberikan keuntungan bagi pasangan Prabowo-Sandi.

"Sebab, kalau orang tidak percaya pada aku, dia juga tidak akan percaya pada lawanku," kata Budiman.

Bagaimana menurut Anda? Silahkan Like dan Share, serta berikan komentar Anda di bawah ini! Terima kasih!

Sumber: Kompas, Tempo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun