Secara prinsip, HTI memang melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya, atau bahkan tindakan biadab, seperti yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1948 dan 1965. Namun, jika dicermati, bahwa HTI memang tidak menggunakan kekerasan, namun terkadang mendukung orang lain yang melakukannya.
Sejumlah aksi kekerasan dan teror, ternyata meninggalkan jejak bahwa pelakunya merupakan eks (bekas) anggota Hizbut Tahrir. Seperti Bahrun Naim, orang yang dituduh melatari aksi bom di Sarinah pada Januari 2016 ini, ternyata pernah bergabung di Hizbut Tahrir, sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada ISIS.
Kitab Mafahim Hizbut Tahrir
Memamg diakui, HTI tidak melakukan kekerasan dalam menyebarkan dakwahnya. Namun, HTI tetap perlu diwaspadai karena memiliki agenda mengubah sistem pemerintahan RI menjadi khilafah.
Hal tersebut perlu dikaitkan dengan kitab Mafahim Hizbut Tahrir karya Syaikh Taqiyuddinan-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir). Dalam kitab itu, disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan politiknya, HT (termasuk HTI) menempuh tiga metode/tahapan dakwah. Ketiga metode tersebut, yakni tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalahats-tsaqif), tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalahtafa'ulma'aal-ummah), dan tahap menerima/meraih kekuasaan (marhalahistilaamal-hukm).
Tahapan pembinaan dan pengkaderan dilaksanakan dengan membentuk kelompok-kelompok pengajian kecil dengan tujuan doktrinasi kepada para kader. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan berinteraksi dengan masyarakat, yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk dakwah secara personal, tabligh akbar, seminar, diskusi terbuka, dan bahkan aksi unjuk rasa. Tujuannya untuk menyadarkan umat (masyarakat non-HTI) bahwa seluruh permasalahan yang ada saat ini bersumber dari ketiadaannya khilafah selaku institusi yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.
Hingga saat ini, baru kedua tahapan di atas yang telah dilakukan HTI secara simultan dan berkesinambungan. Adapun untuk tahapan ketiga, atau tahap menerima/meraih kekuasaan, belum dilakukan oleh HTI maupun Hizbut Tahrir di belahan dunia manapun. Alasannya sederhana, karena belum adanya kemampuan untuk melaksanakan tahapan tersebut. Namun demikian, justru di tahapan terakhir inilah terletak potensi "ancaman" HTI terhadap NKRI dalam tataran empirik.
Dengan demikian, pembubaran HTI yang dilakukan Pemerintah merupakan langkah preventif untuk mencegah hal-hal yang ditakutkan bangs dannegara ini ke depannya. Bukankah mencegah berkembngnya HTI itu lebih baik, daripada menyesali keruntuhan NKRI? Pembubaran HTI ini, mendapat dukungan dari mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurut Gatot, bukan hanya HTI, organisasi apapun yang hidup di negara ini harus berdasarkan Pancasila.
sumber: Neraca,CNNIndonesia, EraMuslim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H