Saya bukanlah kader Partai PDI Perjuangan (PDIP). Bahkan, seumur-umur, saya tidak pernah memilih partai yang diketuai Megawati Sukarnoputri ini. Namun, ketika saya menemukan informasi yang kurang berimbang, maka hal yang wajar jika saya ingin menjelaskan sesuai dengan apa yang saya pahami, dan itu terbuka untuk ditanggapi. Saya hanya ingin menempatkan sesuatu pada tempatnya, agar tidak dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan politiknya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah diisukan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu ini jelas dibantah Jokowi sendiri. Bahkan, secara lelucon Jokowi mengatakan saat PKI dibubarkan tahun 1965, Â dia masih berusia 3-4 tahun. Jadi, tidak mungkin dirinya menjadi anggota PKI.
"Masa ada PKI balita? Logikanya enggak masuk tapi ada yang mempercayai," ungkap Presiden,seperti dikutip di laman Kompas.com (25/05/2018).
Itulah salah satu contoh yang mengaitkan isu PKI kepada Jokowi. Dan, isu ini akan terus menjadi komoditas politik, khususnya dikaitkan pada PDIP. Ada apa dengan PDI P?
Sepertinya, ada pemahaman sejarah yang salah dari sebagian kecil masyarakat kita. Ini berkaitan dengan sejarah pembubaran PKI dan penyederhanaan partai politik. Hal ini tampak pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, Selasa 18 September 2018.
Di acara itu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana (ES) mengatakan kepada kader PDIP yang juga mantan pengacara Habib Rizieq Kapitra Ampera, kenapa dirinya memilih PDIP, yang menurutnya PDIP itu banyak menolak UU/aturan yang berpihak pada umat Islam. Di situ pula ES mengungkapkan siapa yang membubarkan Masyumi. Dan, ketika ada penyederhanaan partai, dimana partai-partai nasionalis dan Kristen/Katolik berfusi menjadi PDI, dan menyinggung kemana PKI meleburkan diri. Dari pernyataan ES ini, secara tersirat mengatakan bahwa PKI melebur ke dalam PDI.
ES sepertinya tidak memahami sejarah. Dalam hal ini, PKI jauh-jauh hari resmi dibubarkan  sesuai dengan TAP MPRS No.25 Tahun 1966. Dengan pembubaran ini, otomatis PKI menjadi organisasi  terlarang di Indonesia, dan para simpatisan, anggota dan pengurusnya "dikejar" kemanapun oleh rezim Suharto yang berkuasa sekira 32 tahun (1967-1998).
Mengenai soal Sukarno yang membubarkan Masyumi, itu adalah tindakan politik sebagai kepala negara. Dan, bukan hanya itu. Sukarno pun, untuk keamanan negara saat itu, menghukum mati dua sahabatnya sendiri, Muso dari PKI dan Karto Suwiryo dari DI/TII. Dengan demikian, mengaitkan Sukarno dengan komunis pun sudah terbantahkan.
Sedangkan soal penyederhanaan beberapa partai yang ada menjadi dua partai, yaitu PPP dan PDI, dan Golongan Karya menjadi satu kekuatan tersendiri dari Pemerintahan Suharto. Hal itu terjadi dari hasil Sidang Umum MPR 1973. Partai-partai yang berasaskan Islam menjadi PPP, partai nasionalis dan Kristen/Katolik menjadi PDI. Soal PKI, kan sudah lama dibubarkan, sehingga tak perlu lagi dikaitkan dengan partai baru.
Pemahaman sejarah yang salah ini jadi komoditas politik, dimana selalu saja akhirnya PDI itu dikaitkan dengan PKI. Mengenai anak-anak keturunan PKI masuk ke dalam PDI atau partai apapun, itu merupakan hal yang berbeda, karena kesalahan orangtuanya tidak bisa ditanggung  anak-anak dan keturunanya.