Antara Pemimpin Arogan versus Pemimpin Rendah Hati
Sukardi Weda
Guru Besar Universitas Negeri Makassar
Setiap orang pernah bersentuhan langsung dengan orang lain. Demikian halnya, hampir setiap orang pernah terlibat aktif dalam sebuah organisasi atau dalam sebuah perusahaan ataupun dalam sebuah lembaga negara atau pemerintahan. Berinteraksi dalam sebuah organisasi sangatlah menarik karena dalam sebuah organisasi terdapat banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, suku bangsa, kelompok etnik, bahasa, dan latar belakang pendidikan. Setiap orang memiliki budayanya sendiri, dan organisasi hendaknya merangkum budaya yang berbeda dari setiap orang di organisasi itu sehingga menjadi budaya atau nilai (value) spesifik dari organisasi itu.
Setiap organisasi juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang tentu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Acapkali juga para pemimpin di organisasi itu menjalankan roda organisasi dengan beragam cara dan strategi, yang tentu tujuannya adalah untuk mencapai target organisasi sebagaimana telah dituangkan dalam rencana strategis (renstra) organisasi, baik itu terkait dengan program kerja jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang organisasi.
Seorang pemimpin dalam menakhodai organisasi atau perusahaan yang ia pimpin, menerapkan gaya – gaya kepemimpinan yang baik, bersahabat, kolektif kolegial, moderat, saling merangkul, saling memahami, sehingga bawahan atau karyawan di perusahaan tersebut dapat bekerja secara maksimal, yakni berkinerja bagus karena kreatifitas dan inovasi mereka muncul karena dia bekerja tanpa tekanan. Sehingga tujuan – tujuan dan visi organisasi dapat diwujudkan.
Namun tidak sedikit organisasi, baik itu oranisasi pemerintah, BUMN, organisasi swasta, maupun perusahaan, dipimpin oleh orang – orang yang arogan. Yakni orang – orang yang dalam kepemimpinannya menganggap orang – orang yang ada di sekitarnya adalah salah dan hanya menganggap dirinyalah yang selalu benar, bawahan atau karyawan selalu saya disalahkan, seperti yang ditulis oleh Mary C. Kelly (2022) “Arrogant people believe they no longer have a need to learn, grow, or change and they wholeheartedly believe they are right and that others are wrong.” Arrogant individuals truly believe they are the smartest person in the organization and arrogant people are good at giving advice, but they are not good at accepting advice from others (Marry C. Kelly). Intinya adalah orang – orang atau pemimpin yang arogan hanya menganggap dirinyalah seorang diri yang paling pintar di dalam organisasi itu dan yang lain dianggap tidak tahu menahu tentang sesuatu. Ia juga cenderung selalu mau memberi nasehat tetapi sulit untuk menerima nasehat, lagi – lagi hanya dirinyalah yang dianggap benar.
Berbeda dengan humble leader, humble leader atau pemimpin yang rendah hati. Humble leader dalam buku berjudul Humble Leadership: The Power of Relationships, Openness, and Trust, karya Edgar H. Schein & Peter A. Schein yang sengaja diperuntukkan bagi para pemimpin di perusahaan, tentu termasuk organisasi apa saja untuk melakukan suatu perubahan. Edgar H. Schein & Peter A. Schein mengatakan bahwa “Humble leadership defined as an intrinsically relational process that is deeply embedded in effective group processes, does not displace other models built on individual heroic visions or purposes.” Terjemahan bebasnya seperti ini, pemimpin yang rendah hati adalah pemimpin yang dalam dirinya bersemayam proses hubungan secara intrinsik dalam proses sebuah kelompok yang efektif, juga tidak tergantikan oleh model lain yang dibangun di atas visi dan tujuan heroik seseorang. Itulah sebenarnya esensi dari kepemimpinan kolektif kolegial, karena sesungguhnya pencapaian tujuan organisasi ditentukan oleh bukan oleh seorang pemimpin semata, tetapi keberhasilan itu adalah akumulasi dari peran setiap stakeholder dalam organisasi itu, sekecil apapun itu.
Jika Anda pernah bekerja untuk seorang pemimpin atau bos yang arogan, Anda tahu mereka umumnya tidak mau mendengarkan, mereka juga tidak mau mengakui kesalahannya, selalu saja merasa benar, dan semua pendapat orang di sekitarnya diabaikan, dianggap salah (Mary C. Kelly, 2022).
Arrogant leader dan strong leader adalah dua tipe pemimpin yang jauh berbeda. Kalau pemimpin arrogan, merasa benar sendiri dan selalu saja mau menang sendiri, sedangkan pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang tentu memiliki integritas, awareness, empati, peduli, rasa terima kasih, berani, mau belajar, menghargai pendapat bawahannya, mau mendengar masukan dari bawahan, sehingga masukan – masukan dari setiap stakeholder organisasi dapat dijadikan senjata ampuh untuk membangun organisasi.
Strong leader adalah pemimpin yang kuat, berkharisma, memotivasi, menginspirasi bawahan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dia juga dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan para tim atau unit dalam organisasi, membangun kreatifitas karyawan atau bawahan, dan memiliki kemampuan pemecahan masalah.
Sedangkan arrogant leader terkesan otoriter, maunya menang sendiri, tidak menghargai bawahan, tidak mau belajar dari bawahan, ia juga tidak mampu membangun tim yang solid, karena kepemimpinan yang baik adalah mampu membangun tim super, super team, mampu membangun tim handal sehingga bersama – sama dan bersinergi untuk berlari mencapai tujuan organisasi. Terkesan pemimpin yang arogan hanya dihormati di depannya saja oleh orang – orang yang ada di sekitarnya, ia tidak akan lama dihormati oleh bawahannya. Pemimpin arogan juga sulit melahirkan orang – orang yang kreatif, karena para bawahannya terkesan menjadi bodoh akibat sering dimarahi, dipojokkan, dimarginalkan, sehingga kreatifitas bawahan sulit untuk berkembang.
Ketika suatu saat pemimpin arogan tidak lagi menduduki jabatannya sebagai sang bos, sang pemimpin di organisasi dimana ia memimpin, kelak para bawahan yang pernah ada di bawah kepemimpinannya akan menjauh, maka tinggallah dia seorang diri dalam mengenang masa – masa ketika ia dihormati orang, dan memiliki kemampuan menundukkan orang – orang yang ada di sekitarnya. Tinggallah dalam dirinya Post power syndrome, yaitu syndrome pasca kekuasaan atau kondisi ketika seseorang masih diliputi bayang – bayang kekuasaan, dan tidak ada lagi rasa hormat, puji – pujian, dan rasa dibutuhkan (Meva Nareza, 2021), semua hilang tanpa bekas.
Oleh karena itu, ketika seorang berada di tampuk kekuasaan maka marilah menerapkan kepemimpnan hati nurani, yakni kepemimpinan yang rendah hati (humble leadership), yakni kepemimpinan yang menerapkan prinsip “sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge” (Saling menghargai, saling menghormati satu sama lain) tanpa memandang jabatan seseorang di organisasi itu, karena prinsipnya setiap orang memiliki harga diri, maka hormati dan hargai pulalah orang lain, bila juga ingin dihormati dan dihargai. Pemimpin yang rendah hati (humble leader) akan dikenang sepanjang masa, sedangkan pemimpin arogan (arrogant leader) akan diingat sepanjang masa atas keburukan kepemimpinannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H