PSSI, kata Djohar waktu itu, tak bisa terlalu berharap kepada pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan dana tersebut.
"Kalau dari pemerintah kan tidak mungkin kami harapkan semua. Jadi fund rising harus kerja keras, karena dana yang diperlukan tidak sedikit. Prestasi itu mahal, karena itu fund rising harus bekerja keras menggandeng apapun yang bisa digandeng untuk mencari dana untuk pembangungan sepak bola Indonesia," katanya.
Dengan berlalunya waktu, rupanya target yang ditentukan tak bisa digapai. Pihak luar yang semula diharapkan memberi bantuan rupanya enggan mengucurkan dana untuk PSSI.
Bagaimana di 2013?
Bagaimana geliat PSSI di tahun 2013? Saya pikir, PSSI tetap harus berupaya menjaring dana dari pihak luar, selain pemerintah. Tentu, PSSI tetap harus realistis. 300 milyar itu tidak sedikit. Rasanya mustahil bisa berharap ada dermawan yang begitu saja mau memberikan uang 300 M untuk PSSI.
Pembinaan usia muda dengan mengacu pada roadmap yang disusun Timo mungkin bisa dilanjutkan. Tentu PSSI harus menyesuaikan dengan ketersediaan dana. Jika dana hanya untuk satu akademi untuk memandu bakat, biarlah satu akademi dulu yang dibuat. Jika bisa untuk dua akademi, buat dua akademi. Tak perlu memaksakan diri membuat 37 pusat akademi jika dananya belum mencukupi.
Di samping itu, PSSI tentu saja tetap harus mengedepankan asas profesionalisme. Yang krusial adalah membayar gaji Timo yang belum lunas.
Mundurnya Timo, menurut saya adalah kehilangan besar bagi PSSI, juga bagi dunia sepakbola Indonesia secara keseluruhan. Karena Timo bekerja profesional, dengan program terukur.
Pada akhirnya, profesionalitas jugalah yang membuat Timo memutus kerjasama dengan PSSI. Dan ini menjadi pelajaran berharga untuk PSSI. Bahwa profesionalisme bukan semata diucapkan. Namun juga dipraktekkan.
Dan dalam hal ini, yang paling sederhana adalah membayar gaji Timo, setidaknya sebelum bulan Januari berakhir.