"Pertama-tama, mungkin saudara Sigit perlu melaporkan hal ini ke atasan," kata Aleesha. "Selanjutnya kita bisa bicarakan apa langkah selanjutnya..."
"Emmm... Soal atasan, eh... Emmm... Sebenarnya mereka sudah tahu," kata Sigit, sambil menyentuh pangkal telinga kanannya.
"Mereka sudah tahu? Bagaimana?" potong Shlomo. "Ah, tentu saja. Pasti ada kamera pengintai di ruangan ini, yang langsung terhubung ke kantor Anda. Bukan begitu?"
Sigit tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
"Oh ada kamera pengintai di ruangan ini?" Aleesha berujar sambil matanya menatap sekeliling.
"Iya. setidaknya ada dua kamera pengintai, Rasa-rasanya aku bisa menebak letaknya di mana. Bisakah kau menebaknya?"Â Â kata Shlomo sambil tersenyum setengah menggoda kepada Aleesha.
"Hmmm...." Aleesha memicingkan matanya dan kembali menatap sekeliling. "Kamera pengintai. Kamera pengintai. Hmmm... Di mana ya? Hmmm... Aku pikir, salah satunya berada di bagian pangkal lampu itu. Benar bukan?" Aleesha melakukan gerakan seperti menembak dengan jari telunjuk tangan kanan ke arah lampu. Dia lalu meniup ujung telunjuknya...
"Hahaha... Hidungmu ternyata masih tetap tajam Aleesha," kata Shlomo. "Dan yang satunya lagi?"
"Satunya lagi ada di.... Hmmm... Aku yakin letaknya di kipas angin itu," kata Aleesha. Dia lalu menatap ke kipas angin. "Hai, namaku Aleesha, senang bertemu Anda!!" Dia lalu mencium telapak tangannya dan meniupkan ke arah kipas angin.
"Wow, hebat," puji Sigit. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
Aleesha mengangkat bahunya. "Aku menemukan dua hal yang tidak cocok. Pertama, ruangan ini terang benderang namun lampunya menyala. Itu tidak cocok. Kedua, di sini juga dingin. Dan Anda memasang kipas angin. Dan sejak tadi saya tidak merasakan hembusan angin. Jadi, satu-satunya alasan kenapa lampu dan kipas angin dinyalakan karena hal itu yang perlu dilakukan untuk mengaktifkan kamera tersembunyi. Bukan begitu?"