Mohon tunggu...
Suka Ngeblog
Suka Ngeblog Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, terkadang menjadi Pekerja Teks Komersial

Blogger, writer, content creator, publisher. Penggemar Liga Inggris (dan timnas Inggris), penikmat sci-fi dan spionase, salah satu penghuni Rumah Kayu, punya 'alter ego' Alien Indo , salah satu penulis kisah intelejen Operasi Garuda Hitam, cersil Padepokan Rumah Kayu dan Bajra Superhero .Terkadang suka menulis di www.faryoroh.com dan http://www.writerpreneurindonesia.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ebook Menyerbu, Sampai Kapan Buku Konvensional Bertahan?

1 Oktober 2012   06:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA semua mulai beralih ke digital, sampai kapan hal-hal yang berbau konvensional bertahan? Ketika buku mulai beralih ke digital, apakah buku konvensional yang dicetak dengan kertas masih memiliki masa depan?

Kemajuan teknologi selang 20 tahun terakhir telah mengubah banyak hal. Juga mengubur sejumlah bisnis dan teknologi. Munculnya SMS membuat bisnis pager gulung tikar. Keberadaan telepon genggam membuat telepon rumah dan telepon umum dilupakan dan bisnis wartel gulung tikar. Munculnya surat elektronik (email) membuat kantor pos sepi. Seiring perkembangan jaman, semua kini mulai beralih ke elektronik (bahkan termasuk KTP).

Nuansa elektronik juga mulai merambah buku. Sebagaimana dilaporkan Mashable dan Techrunch, pada kuartal pertama tahun ini, untuk pertama kali dalam sejarah laba penjualan buku elektronik (ebook) melangkahi laba penjualan buku hardcover di Amerika Serikat.

Fenomena menarik juga terlihat pada Amazon, situs penjual buku pertama dan terbesar dunia. Sebagaimana dilaporkan CNN, untuk pertama kali dalam sejarah, serial Harry Potter yang selama bertahun-tahun bertahta sebagai best seller alias terlaris, terpaksa turun tahta. Harry Potter harus mengakui keperkasaan serial The Hunger Games.

Trilogi The Hunger Games awalnya dipasarkan secara elektronik di Kindle (wadah membaca ebook milik Amazon). Kesuksesan The Hunger Games membuat pengarangnya, Suzanne Collins, oleh Amazon ditahbiskan sebagai the best-selling Kindle author of all time (pengarang terlaris di Kindle sepanjang masa). Memang, pertempuran dengan Harry Potter belum selesai karena serial ciptaan JK Rowling ini di Amazon hanya dijual dalam versi cetakan (hardcover). Namun mengingat The Hunger Games hanya tiga seri sementara Harry Potter berjumlah tujuh seri, maka kehandalan The Hunger Games tak bisa dinafikan. Kini The Hunger Games juga telah dijual dalam bentuk hardcover.

Pengaruh Kindle

Ebook telah mewarnai dunia internet selama bertahun-tahun. Namun keberadaannya baru benar-benar diperhitungkan setelah Amazon memperkenalkan Kindle, wahana membaca ebook. Belakangan, Amazon melakukan gebrakan. Kindle diluncurkan dalam bentuk aplikasi. Jadi pengguna tak perlu membeli Kindle yang harganya ratusan dolar, namun bisa mengunduh secara gratis aplikasinya yang bisa diselaraskan ke sejumlah perangkat elektronik seperti IPad, IPhone, smartphone berbasis Android, Mac bahkan PC. Kini diperkirakan ada sekitar 1 milyar Kindle yang beredar di seluruh dunia.

Pemilik Kindle (baik perangkat maupun aplikasi) ini tentu membutuhkan bacaan. Yakni ebook. Pasar yang tersedia ini pun dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membuat buku digital. Itu yang dilakukan Suzanne Collins. Di Kindle Amazon, Collins bukan satu-satunya penulis yang meraup sukses karena membuat ebook. Ada banyak nama lain, seperti John Locke, yang ebooknya terjual lebih dari 1,1 juta. Lepas dari harga novelnya yang murah meriah (hanya dijual seharga US$0.99) namun John Locke, yang kini merupakan ‘anggota’ Kindle Million Ebook, merupakan fenomena. Apalagi dia menulis novel pertamanya ketika berusia 58 tahun!!

Self publishing

Suzanne Collins dan John Locke merupakan pionir dari apa yang dikenal sebagai ‘self publishing’. Yakni menerbitkan buku tanpa perlu memasuki kerumitan percetakan tradisional. Kini, ada ribuan atau bahkan mungkin ratusan ribu orang yang coba-coba menjadi penulis alias pengarang, dan mencoba menjualnya di Kindle. Kemudahan yang ditawarkan Kindle, seperti naskah diupload dalam format MS (Microsoft) 2010, misalnya, sangat membantu. Para penulis ini bertemu dengan pembaca yang terkesan mau membeli apa saja sepanjang sesuai dengan minat.

Self publishing dengan menerbitkan ebook, tentu menjadi celah yang sangat signifikan bagi mereka yang ingin mendapat predikat sebagai ‘pengarang’ atau ‘penulis’ buku. Juga menjadi alternatif untuk meraup dolar. Namun self publishing ada konsekuensinya. Karena semua orang bisa bikin ebook, maka pasar kini diisi banyak ebook berkualitas seadanya. Yang oleh pembacanya diistilahkan sebagai ‘poorly written’ atau  ‘badly written’ dan (konon) sering diwarnai ‘grammatical errors’ atau ‘grammatical mistakes’.

Saya sendiri, selang sebulan terakhir iseng menjajal Kindle. Saya membuat beberapa ebook dan dijual di sana. Karena hanya taraf percobaan, beberapa buku saya ambil yang public domain (buku yang copyrightnya sudah tidak berlaku). Dua buku yang saya terbitkan beberapa hari terakhir adalah ‘Sherlock Holmes vs Hercule Poirot, 40 Cases, Two Great Detectives), dan ‘Winnetou and Old Shatterhand’. Buku pertama berisi kumpulan cerita pendek tentang kasus yang dipecahkan Sherlock dan Poirot yang ditulis Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie. Buku kedua karangan Karl May.

[caption id="attachment_209081" align="aligncenter" width="589" caption="Buku "][/caption]

Saya juga menulis beberapa cerita pendek bergenre romance. Dan rupanya di Kindle, cerpen romance cukup disukai. Yang terjual  cukup lumayan, padahal kisah dan penuturannya malu-maluin, hehehe.

Yang juga banyak dibeli orang adalah buku biografi tentang Neil Armstrong dan Pyllis Diller. Padahal ‘buku’ itu saya bikin berdasarkan materi yang semuanya tersedia di internet, hanya diolah dan diedit. (Di Kindle saya memakai nama pena. Namun tentu saja bukan Sukangeblog, hehehe). Saya juga menerbitkan kompilasi tulisan di blog tempo doeloe dengan nama pena pengarang ‘Rumah Kayu’.

[caption id="attachment_209082" align="aligncenter" width="540" caption="Buku Neil Armstrong di Kindle (foto: dok pribadi)"]

13490724911716668126
13490724911716668126
[/caption]

Kelak, jika punya waktu yang cukup, menjual ebook di Kindle cukup menarik. Dari sisi bisnis juga sangat menjanjikan. Saya punya banyak ide yang bisa dituangkan menjadi ebook, baik fiksi maupun non fiksi. Tinggal waktunya yang tidak ada. Namun setidaknya saya sudah tahu apa yang akan dilakukan jika kelak sudah pensiun dari kerja kantoran sekarang, hehehe.

Bagaimana Indonesia?

Di Indonesia, ebook belum begitu populer. Masih sangat minim pihak yang mencoba meraup rupiah dari penjualan ebook. Ini diperparah oleh ciri khas pengguna internet Indonesia yang lebih suka barang gratisan daripada membeli.

Di Tanah Air, bisnis buku cetakan masih mendominasi, dan kelihatannya masih akan tetap eksis setidaknya hingga 15 hingga 20 tahun mendatang.

Namun fenomena di luar negeri, mau tidak mau harus disimak. Di luar sana, ebook mulai merambah. Dan kelihatannya, hanya soal waktu bagi ebook untuk berjaya di Indonesia...

Akankah buku cetakan menjadi kenangan, dan kita akan ‘membaca buku’ melalui perangkat elektronik?

Bagaimana pendapat Anda?

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun