Saya yang sejujurnya tak begitu peduli dengan timnas Indonesia, mau tak mau ikut larut dalam hingar-bingar itu. Dan bulu kudukku merinding ketika melihat ratusan ribu penonton itu menyanyikan "Indonesia Raya". Dengan gegap-gempita. Bagaimana mereka bersorak gembira ketika gol tercipta. Sungguh, sebuah momen yang sukar dilupakan.
Kini antusiasme itu luntur. Kemelut membuat kubu dan pecinta sepakbola terpecah tiga: pro PSSI, pro KPSI dan netral mania (sekalipun banyak pendukung PSSI yang menganggap para netral mania--seperti saya, yang sebenarnya pro KPSI, hehehe). Setiap hari kita bisa menjumpai ajang debat di forum yang penuh ejekan. Perpecahan sepakbola Indonesia telah menciptakan permusuhan. Yang semakin hari semakin parah.
***
Pernyataan Ahmad Riyadh patut direnungkan oleh mereka yang mengaku (atau merasa) peduli dengan sepakbola Indonesia. Bahwa sepakbola adalah bahasa yang (seharusnya) mempersatukan. Sepakbola bukan ajang mencari musuh.
Perbedaan pandangan itu wajar. Ketika ada yang menyukai timnas Spanyol dan yang lain menyukai Brasil dan yang lain lagi tergila-gila pada timnas Inggris (seperti saya), itu wajar. Jika ada yang memfavoritkan Barcelona, atau Real Madrid, atau Manchester City atau AC Milan, itu juga hal yang wajar dan biasa. Namun perbedaan tim favorit seharusnya tidak membuat penggila bola terpecah dan bermusuhan.
Begitu juga dalam konteks sepak bola Indonesia. Jika ada yang merasa PSSI itu benar, itu sah-sah saja. Jika ada yang berpikir bahwa KPSI itu benar, itu juga sah-sah saja. Yang salah adalah jika perbedaan pandangan ini menyebabkan permusuhan mendalam yang seakan sukar dicarikan jalan keluar.
Apakah insan sepakbola Indonesia harus menunggu sanksi FIFA untuk berdamai? Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H