Mohon tunggu...
Suka Ngeblog
Suka Ngeblog Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, terkadang menjadi Pekerja Teks Komersial

Blogger, writer, content creator, publisher. Penggemar Liga Inggris (dan timnas Inggris), penikmat sci-fi dan spionase, salah satu penghuni Rumah Kayu, punya 'alter ego' Alien Indo , salah satu penulis kisah intelejen Operasi Garuda Hitam, cersil Padepokan Rumah Kayu dan Bajra Superhero .Terkadang suka menulis di www.faryoroh.com dan http://www.writerpreneurindonesia.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Pendekar Tongkat Emas Melecehkan Pencak Silat?

24 Desember 2014   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:34 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_385643" align="aligncenter" width="599" caption="Pendekar Tongkat Emas/Kompasiana (@MirLes)"][/caption]

AWAL Desember lalu, muncul pengumuman menarik yang beredar di dunia maya. Pengumuman casting untuk film. Seperti dikutip dari oneheadlightink, pengumuman itu antara lain  berbunyi:

"Midthunder Casting is conducting a talent search for a Warner Brothers feature film which will heavily feature two young boys in SAG principal roles; one Caucasian 12 year old boy (to portray a young Ben Affleck) and one Caucasian 10 year old boy.

Both Boys must have extensive WUSHU, KUNG FU, or PENCAK SILAT training and experience; however, they will consider high level (state - world champion) competitors in all martial art forms."

Ada yang menduga kalau pengumuman casting ini untuk mencari pemeran Bruce Wayne muda yang akan bermain dalam film Batman v Superman: Dawn of Justice. (Bruce Wayne adalah alter-ego superhero bernama Batman. Pada film Batman v Superman: Dawn of Justice, Bruce Wayne/Batman diperankan Ben Affleck). Namun ada juga yang mengatakan, casting itu terkait dengan film The Accountant yang juga diperankan Ben Affleck.

Apapun filmnya, itu tak menjadi soal. Yang menarik perhatian adalah dicantumkannya “Pencak Silat” sebagai salah satu alternatif bagi mereka yang tertarik. Menarik, karena di mata Hollywood, terutama studio raksasa seperti Warner Brothers, Pencak Silat sudah dianggap setara dengan Wushu atau Kungfu. Terutama dari sisi estetika dan koreografi.

Tidak jelas juga bagaimana Warner Bros bisa tahu soal Pencak Silat. Saya menduga, itu merupakan dampak kesuksesan dwilogi The Raid hasil besutan Gareth Evans. Pada The Raid, adegan aksi memang memeragakan jurus Pencak Silat.

[caption id="attachment_361476" align="aligncenter" width="333" caption="Pendekar Tongkat Emas (muvila.com)"]

1419383163122157788
1419383163122157788
[/caption]

Ironi Indonesia

Ketika Pencak Silat mulai dikenal di pentas internasional, bahkan diperhitungkan oleh studio sebesar Warner Bros, maka menjadi ironi ketika anak bangsa terkesan menyepelekan beladiri asli Indonesia itu. Kesan itu muncul pada film Pendekar Tongkat Emas (PTE), yang justru memilih menggunakan jasa pihak luar, dalam hal ini Hung Yan-yan (atau Xiong Xinxin) sebagai fighting director.

Kenapa Miles Film memilih menggunakan penata laga dari luar dan bukannya Indonesia? Itu yang belum jelas. Apakah karena secara kualitas, koreo laga berbasis kungfu lebih enak dilihat dibanding Pencak Silat? Itu juga belum jelas.

Oh ya, saya bukan anti film kungfu, hehehe. Saya termasuk penikmat film kungfu. Jika punya waktu, terkadang saya menonton film kungfu jadul yang dibintangi David Chiang, Ti Lung atau Chen Kuan Tai yang diputar di sebuah channel tv setiap hari. Saya juga penggemar Jet Li. Rasa-rasanya semua film kungfu Jet Li sudah saya tonton, termasuk “serial” Once Upon a Time in China (di Indonesia, film yang terdiri dari lima seri ini beredar dengan judul Kungfu Master).

Sebagai penikmat serial Kungfu Master, saya tahu bahwa  Hung Yan-yan (atau Xiong Xinxin) yang memperkuat PTE pernah tampil di Kungfu master III, IV dan V, berperan sebagai Clubfoot (diterjemahkan sebagai Si Kaki Setan Chi).

Saya juga sudah menyaksikan sejumlah film kungfu yang mengisahkan petualangan Wong Fei Hung. Selain Jet Li, pendekar yang dulu benar-benar pernah ada itu juga diperankan Vincent Zhao. Juga oleh Jacky Chan dalam dwilogi Drunken Master. (Peran Wong Fei Hung sebagai pahlawan masyarakat mungkin sejajar dengan Si Pitung atau Si Jampang di Indonesia).

Bagus, tapi...

Saya menonton PTE sehari setelah nonton Exodus: Gods and Kings. Awalnya sempat bimbang apakah menonton The Hobbit atau PTE. Namun PTE akhirnya yang menang, sekaligus menciptakan sejarah. PTE adalah film Indonesia pertama yang saya saksikan di bioskop dalam puluhan tahun terakhir. Film Indonesia terakhir yang saya nonton di bioskop adalah... Saur Sepuh, puluhan tahun lalu semasa masih remaja. (Saya dulu penikmat serial Saur Sepuh di radio. Jadi dibela-belain nonton filmnya, walau akhirnya kecewa karena yang dilihat sangat berbeda dengan yang dibayangkan).

Film Indonesia lain yang juga saya saksikan semasa remaja adalah Catatan si Boy, udah lupa seri yang mana, yang dibintangi Merriam Bellina dan Didi Petet, selain Onky Aleksander tentunya. (Saya sudah lupa mana yang duluan, Catatan si Boy atau Saur Sepuh, namun itu yang saya ingat, hehehe). Oh ya, saya juga nonton The Raid. Yang jilid 1 di televisi dan jilid 2 dapat copy-annya dari teman.

Kesan saya pada PTE adalah, filmnya keren. Saya akan berdusta (dan berdosa) jika bilang filmnya jelek. Gambarnya memukau. Akting pemainnya kelas satu (siapa yang meragukan kualitas akting seorang Christine Hakim?). Plot kisahnya juga berbeda dengan cerita silat sejenis. Dialognya cerdas dan bernas (bahkan ada yang terlalu cerdas menurut saya, tapi mungkin itu hanya perasaan saya, hehehe). Dan yang membuat decak kagum adalah adegan pertarungannya, yang didominasi jurus tongkat. Keren banget.

Cuma, memang, ada kesan yang mengganjal. Saya seperti menonton “film kungfu Hongkong berbahasa Indonesia”. Penyebabnya, ya karena adegan laga yang sangat bernuansa kungfu. Seperti deja vu.

Nuansa kungfu ala Hongkong tak hanya hadir pada adegan laga. Tampilnya karakter Angin yang berkepala plontos, mau tak mau menggiring asosiasi saya pada... biksu Shaolin cilik.

[caption id="attachment_361478" align="aligncenter" width="502" caption="www.kapanlagi.com"]

1419383408817581337
1419383408817581337
[/caption]

Juga, ada adegan menghormat yang menyatukan tinju dengan telapak tangan, yang jelas-jelas merupakan ciri khas Tiongkok. Busana yang digunakan, juga terkesan bernuansa film Hongkong (tapi mungkin ini juga hanya perasaan saya, hahaha)

[caption id="attachment_361479" align="aligncenter" width="615" caption="Adegan menghormat ala Tiongkok (youtube.com)"]

1419383495825180286
1419383495825180286
[/caption]

Faktor Rendah Diri?

Kentalnya nuansa kungfu pada film PTE membuat saya kerap tersenyum membaca review banyak orang, termasuk di Kompasiana ini, yang berharap bahwa PTE “akan menjadi tonggak kebangkitan film silat Indonesia”. Serius? Bagaimana PTE bisa menjadi tonggak kebangkitan film silat sementara film itu menggunakan adegan kungfu?

Bagaimana mungkin PTE bisa menggairahkan sinema Indonesia ketika pada saat yang sama pihak penggagas lebih percaya pada ilmu beladiri asing?

Apakah ini merupakan bagian dari “faktor rendah diri” bangsa Indonesia, yang selalu melihat produk luar jauh lebih hebat dan berkualitas dibanding produk dalam negeri?

Sampai tulisan ini dibuat, saya belum menemukan alasan kenapa Miles Film menggunakan penata laga kungfu dan bukannya pencak silat.

Apakah karena koreo Pencak Silat jelek? Mereka yang mengatakan koreo Pencak Silat jelek, berarti mereka BELUM NONTON dwilogi The Raid, hehehe

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun