Oh ya, saya bukan anti film kungfu, hehehe. Saya termasuk penikmat film kungfu. Jika punya waktu, terkadang saya menonton film kungfu jadul yang dibintangi David Chiang, Ti Lung atau Chen Kuan Tai yang diputar di sebuah channel tv setiap hari. Saya juga penggemar Jet Li. Rasa-rasanya semua film kungfu Jet Li sudah saya tonton, termasuk “serial” Once Upon a Time in China (di Indonesia, film yang terdiri dari lima seri ini beredar dengan judul Kungfu Master).
Sebagai penikmat serial Kungfu Master, saya tahu bahwa Hung Yan-yan (atau Xiong Xinxin) yang memperkuat PTE pernah tampil di Kungfu master III, IV dan V, berperan sebagai Clubfoot (diterjemahkan sebagai Si Kaki Setan Chi).
Saya juga sudah menyaksikan sejumlah film kungfu yang mengisahkan petualangan Wong Fei Hung. Selain Jet Li, pendekar yang dulu benar-benar pernah ada itu juga diperankan Vincent Zhao. Juga oleh Jacky Chan dalam dwilogi Drunken Master. (Peran Wong Fei Hung sebagai pahlawan masyarakat mungkin sejajar dengan Si Pitung atau Si Jampang di Indonesia).
Bagus, tapi...
Saya menonton PTE sehari setelah nonton Exodus: Gods and Kings. Awalnya sempat bimbang apakah menonton The Hobbit atau PTE. Namun PTE akhirnya yang menang, sekaligus menciptakan sejarah. PTE adalah film Indonesia pertama yang saya saksikan di bioskop dalam puluhan tahun terakhir. Film Indonesia terakhir yang saya nonton di bioskop adalah... Saur Sepuh, puluhan tahun lalu semasa masih remaja. (Saya dulu penikmat serial Saur Sepuh di radio. Jadi dibela-belain nonton filmnya, walau akhirnya kecewa karena yang dilihat sangat berbeda dengan yang dibayangkan).
Film Indonesia lain yang juga saya saksikan semasa remaja adalah Catatan si Boy, udah lupa seri yang mana, yang dibintangi Merriam Bellina dan Didi Petet, selain Onky Aleksander tentunya. (Saya sudah lupa mana yang duluan, Catatan si Boy atau Saur Sepuh, namun itu yang saya ingat, hehehe). Oh ya, saya juga nonton The Raid. Yang jilid 1 di televisi dan jilid 2 dapat copy-annya dari teman.
Kesan saya pada PTE adalah, filmnya keren. Saya akan berdusta (dan berdosa) jika bilang filmnya jelek. Gambarnya memukau. Akting pemainnya kelas satu (siapa yang meragukan kualitas akting seorang Christine Hakim?). Plot kisahnya juga berbeda dengan cerita silat sejenis. Dialognya cerdas dan bernas (bahkan ada yang terlalu cerdas menurut saya, tapi mungkin itu hanya perasaan saya, hehehe). Dan yang membuat decak kagum adalah adegan pertarungannya, yang didominasi jurus tongkat. Keren banget.
Cuma, memang, ada kesan yang mengganjal. Saya seperti menonton “film kungfu Hongkong berbahasa Indonesia”. Penyebabnya, ya karena adegan laga yang sangat bernuansa kungfu. Seperti deja vu.
Nuansa kungfu ala Hongkong tak hanya hadir pada adegan laga. Tampilnya karakter Angin yang berkepala plontos, mau tak mau menggiring asosiasi saya pada... biksu Shaolin cilik.
[caption id="attachment_361478" align="aligncenter" width="502" caption="www.kapanlagi.com"]
Juga, ada adegan menghormat yang menyatukan tinju dengan telapak tangan, yang jelas-jelas merupakan ciri khas Tiongkok. Busana yang digunakan, juga terkesan bernuansa film Hongkong (tapi mungkin ini juga hanya perasaan saya, hahaha)