Seorang teman mengeluh kepada saya atas penyelenggaraan MOS anaknya yang baru masuk sma. Gara gara MOS anaknya itu, pekerjaannya jadi terganggu karena ia dan istrinya harus ikutan mencari barang barang “aneh” tugas dari panitia MOS.
“Buat apa sih mos-mosan, ga ada gunanya, ga ada hubungannya dengan sekolah, malah nyusahin orang tua. Ganti kek, dengan buat makalah, itu khan lebih mendidik!” begitu kira kira katanya. Saya ketawa kecil (baca: cekikikan) mendengarkan keluhan teman saya ini. Berhubung teman saya ini bukan menteri pendidikan (lagian menteri pendidikan mana kenal saya? He..he..he..), maka saya berani iseng, saya bertanya: “Lha ngapain kamu ikut ribet, memangnya panitia MOS mengharuskan orang tua ikutan?”. Dia diam sebentar, kemudian menjawab: “Ya, nggak sih.. tapi..” sambungnya, “Kalau tidak bisa mengerjakan tugas ini nanti anak saya kena hukuman”. Keisengan saya semakin bertambah, “Jadi kamu keberatan MOS itu karena bikin kamu kena ikutan ribet atau karena ada faktor ‘hukumannya’ ?”. Dia menjawab, “Ya dua duanya!, sudah bikin ribut orang tua, eh hukumannya juga aneh aneh. Yang minta tanda tanganlah, dibentak, dsb”. Semakin saya kejar:”terus, kalau tugas MOSnya diganti bikin makalah yang sulit, kamu mau bantu anakmu mencari data, membuat analisa, bantu ngetik, bantu ngeprint, bantu betulin printer kalau ngadat, cari penjilidan? Sama saja, kalau tidak bisa mengerjakan juga ada hukumannya loh.”. Dia termenung agak lama.. (cut!)
Setelah teman saya mengeluh, saya menyempatkan membuka kompas.com melihat berita berita aktual. Wah, ternyata pak Menteri sedang mempertontonkan “kekuasaannya” dengan sidak ke sekolah sekolah dan menggunakan kekuasaannya menghentikan secara sepihak MOS di sekolah tersebut. Ya, saya pikir Bpk. Menteri Pendidikan dan para orang tua yang keberatan dengan pelaksanaan MOS lupa bahwa MOS adalah dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa. Itu arena mereka, bukan arena kita. Tugas MOS, seberapapun sulit atau dibilang tidak masuk akal dan tidak beralasan adalah sudut pandang kita sebagai orang tua. Sudut pandang siswa atau panitia tentu berbeda. Tanggung jawab si anak adalah mencari caranya sendiri (bukan dengan bantuan ortu) bagaimana memenuhi tugas MOS tidak mampu memenuhi tugas tersebut itu adalah urusan siswa. Malah, dukung mereka untuk bekerja sama dengan teman temannya dalam memenuhi tugas MOS karena salah satu tujuan MOS adalah siswa mampu bekerja sama. Kalau ortu mau ikutan MOS, cari yang sepadan, jangan ‘beraninya’ melawan siswa tetapi coba ikut “MOS” kehidupan ini, itu arena “MOS” kita sebagai orang tua. Jangan lupa, kalau kita lalai atau gagal mengerjakan tugas-tugas “MOS” dari kehidupan ini, maka kita juga mendapat hukuman dihajar keras oleh kehidupan ini. (kadang jauh lebih keras dari hukuman MOS oleh siswa senior di sekolah, loh! )
Mengganti MOS yang dengan membuat makalah? Menurut saya sama sekali tidak efektif. Coba para orang tua dan Bpk. Menteri yang keberatan dengan MOS mau jujur dalam menjawab pertanyaan saya: “Waktu kita kita masih sekolah dan ada tugas membuat makalah berkelompok (entah sebutannya apa dulu. Bisa kliping, praktikum, simulasi, study tour, whatever lah..). Berapa banyak anggota kelompok yang ikut aktif dalam membuat makalah? Kalau saya, maka saya akan jujur bahwa dulu saya termasuk anak yang jarang ikut bikin makalah karena kebanyakan yang bikin makalah dari nol sampai selesai presentasi adalah anggota cewek. Alasannya macem macem: karena tulisannya baguslah, rajin, pintar, rapi, dsb gitu (huuh.. alasan! He..he..he.. sial bagi kelompok yang anggotanya semua laki-laki!). Anggota cowok termasuk saya ya hanya nebeng nama doang.. paling paling tugasnya cuman antar jemput anggota cewek.
Sangat disayangkan pengguanaan kekuasaan Bpk. Menteri untuk menghentikan pelaksanaan MOS di sekolah yang disidak. Karena hal ini justru membuat “luka” di hati siswa siswa yang merasa “arenanya” sudah di intervensi dengan kekuasaan yang tidak bisa mereka lawan. Ingat, panitianya bukan orang luar tapi juga siswa siswa itu sendiri, mereka juga perlu belajar berorganisasi. Juga, kebanyakan siswa kelas 1 malah ingin ikut MOS dan panitianya juga adalah siswa yang juga dalam proses belajar. Kita sebagai orang tua dan Bpk. Menteri pendidikan, bukannya menyetop secara “arogan” kreativitas mereka, justru hal itu memberi contoh tidak baik bagi semua siswa yang melihat. Suatu saat, ketika mereka sudah menjadi pemegang kekuasaan, mereka bisa mencontoh arogansi tersebut.
Kesimpulan dan saran
MOS, tidak perlu dilarang, tapi bukan berarti mereka juga dilepas begitu saja. Adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua atau pendidik untuk memberikan batas batas mana yang boleh dan mana yang tidak. Kita sebagai orang tua dan pejabat yang terkait, adalah menjaga dan memberi batas batas supaya kreatifitas mereka tidak mencelakakan, membahayakan jiwa, atau menimbulkan perkelahian. Beberapa saran saya untuk pelaksanaan MOS berikutnya:
- Selalu ada guru pembimbing yang punya kompetensi untuk mengarahkan panitia bagaimana melaksanakan kegiatan MOS yang baik. Bagaimanapun panitia MOS masih siswa juga, jadi mereka tentu memerlukan bimbingan dalam berorganisasi. Pembimbing tersebut bisa mengarahkan dan memberikan batas batas jelas sehingga panitia tidak kebablasan dalam menyusun rencana MOS.
- Setiap siswa baru berhak memilih ikut MOS atau tidak. Tentunya siswa yang sehat tapi memilih tidak mengikuti MOS akan kehilangan kenangan MOS dan ada tugas pengganti. Misalnya membuat presentasi. (untuk panitia: buat tugas pengganti ini mempunyai bobot kesulitan yang sepadan dengan MOS supaya orang tua juga merasakan beratnya tugas pengganti itu.. he..he..he..). Ingat, ini untuk siswa yang sehat walafiat loh, bukan untuk siswa yang tidak bisa mengikuti karena kondisi tidak normal.
- Setiap siswa baru harus didata catatan kesehatan. Bagi mereka yang mempunyai catatan kesehatan buruk ya diharapkan tidak mengikuti MOS untuk mencegah kecelakaan atau sakit mendadak yang membahayakan jiwa. Tetapi bila siswa yang bersangkutan ‘ngotot’ untuk ikut MOS, pihak sekolah dalam hal ini guru pembimbing dan ketua panitia harus berkomunikasi dengan orang tua siswa tersebut. Tentunya setiap panitia juga harus di briefing untuk lebih memperhatikan dan peduli pada siswa siwa yang masuk ‘daftar’ kesehatan. Hal ini sekaligus mengajarkan kepada siswa senior bahwa selain memberi tugas, mereka juga harus belajar bertanggung jawab dan bisa ‘ngemong’ adik kelas mereka.
Ada yang bisa menambahkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H