NGANJUK -- Kompasiana -- Pameran Koleksi Museum Tempo Doeloe yang diselenggarakan di Museum Anjukladang, Jalan Gatot Subroto, Nganjuk menuai kritik. Kritikan pertama disampaikan oleh salah seorang designer terkenal asal Malang, Muhammad Rifky yang popoler dalam dunia fashion dipanggil "QMR" ini.Â
Yakni terkait baju batik yang dikenakan oleh panitia penyelenggara, Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga dan Kebudayaan (Disparporabud) Nganjuk. Karena baju batik yang dikenakan bukan merupakan khas Nganjuk. Justru panitia mempertotonkan produk batik yang dikenakan dari luar daerah dalam event pameran yang digelar selama tiga hari, 15 -- 18 Juli 2019.
QMR menyayangkan event yang dimotori Disparporabud Nganjuk yang mengundang banyak sorotan dari masyarakat, tim penyelenggaranya justru mengenakan batik bukan khas asli Nganjuk. Lebih-lebih setelah melihat, batik yang dipakai bukan batik tulis, melainkan hasil printing.
"Saya sangat menyayangkan pada event sebesar ini, tim penyelenggara dari Disparporabud malah mengenakan pakaian batik yang bukan khas Nganjuk. Ini menjadi tugas saya yang paling besar untuk mengubah hal-hal yang tidak sesuai pada relnya. Apalagi ini pameran museum Nganjuk tempo doeloe hal yang sangat signifikan sekali yang mengundang sorotan banyak pihak. Karena sudah mulai banyak kritikan, dan itu yang harus segera dibenahi," beber QMR, konsultan Dekranasda Nganjuk ini, menyaksikan langsung jalannya pameran.
Sebagai konsultan design batik khas Nganjuk, QMR yang mengaku tidak berangkat dari asosiasi dan perusahaan apapun itu untuk secepatnya menghasilkan karya besarnya.Â
Yakni sebuah karya batik khas Nganjuk, yang tidak menjiplak dari produk-produk yang sudah ada dari daerah lain. Hanya hingga saat ini, motif batik yang hendak mengangkat tema kekhasan Nganjuk itu masih dalam tahap pembahasan bersama pemerintah daerah, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dan istrinya Yuni Sophia, beserta pejabat OPD terkait.Â
Motif khas Nganjuk yang hendak dicanangkan berupa jayastambha atau prasasti Anjukladang. Hal ini, nantinya menjadi produk pakem, khususnya dalam hal pewarnaan.
"Akan kami pakemkan, khususnya masalah pewarnaan, motif khas Nganjuk dan juga pakaian adat khas Nganjuk," tegas QMR.
Menurut QMR, selama ini perhatian untuk pakaian khas Nganjuk sangatlah minim. Bila diparameterkan rentang angka 1 hingga 10, di Nganjuk menempati posisi di bawah nol, serta dimungkinkan di bawahnya masih ada sekitar 100 lagi yang perhatiannya minim.
Kritikan ini bukan tanpa alasan, QMR membandingkan dengan paguyuban duta wisata Kang Mas Mbakyu Kabupaten Nganjuk yang selama ini pernah dilakukan setiap tahunnya. Mulai dari blangkon hingga kakinya, tidak ada satupun yang khas Nganjuk.
"Kalau mungkin ada angka satu sampai sepuluh, mungkin hanya ditemukan dua sampai tiga saja," kritiknya.
Untuk itu, menjadi tugas pribadi QMR untuk mengembangkan batik Nganjuk yang benar-benar mencirikan khas Nganjuk dan bukan ke kediri-kedirian, bukan ke madiaun-madiunan, atau bahkan kemadura-maduraan.
"Justru yang saya dilihat dari baju pakaian duta wisata "Kang Mas Mbakyu,Red) itu seperti Madura," tegas designer yang memiliki semangat mengembangkan potensi industri fashion, industri batik dan pariwisata di Nganjuk ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H