Sedangkan, pihak pemerintah Indonesia sedang sibuk-sibuknya mengadakan perundingan-perundingan dengan pihak Belanda yang disponsori oleh PBB. Â Hasil perundingan selalu gagal, karena pihak Belanda selalu melanggar kesepakatan.
Pada tahun 1946, karena alasan keamanan, Pandergoen mengungsikan istrinya ke Nganjuk, di kampung halamannya, Desa Baleturi, Kecamatan Prambon. Namun, Pandergoen kembali lagi bertugas di Semarang.
Selang setahun kemudian, Belanda melancarkan agresi militer I, yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Saat itulah Pandergoen mendapat kabar jika istrinya sakit. Akhirnya intelijen polisi ini pulang ke Desa Baleturi, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk.
Setelah satu tahun berpisah dengan istrinya, pada tahun 1947, Pandergoen menerima kabar bahwa istrinya sedang sakit keras. Dia minta ijin atasannya untuk menjenguk istrinya. Sayang, setelah beberapa minggu tinggal di desa tempat kelahirannya, istrinya meninggal.
Selang beberapa bulan kemudian, bersamaan dengan agresi Belanda pertama tahun 1948 dan pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin oleh Muso. Pandergoen memutuskan untuk kembali lagi bertugas ke Semarang, namun seluruh akses jalur darat dikuasai oleh Belanda, termasuk stasiun kereta api.
Setelah gagal kembali ke Semarang, akhirnya Pandergoen memutuskan untuk bergabung bersama para pejuang di Nganjuk menghadapi agresi Belanda. Karena, di Semarang juga sedang terjadi perlawanan terhadap Belanda oleh rekan-rekan Pandergoen sesama polisi bersama pejuang daerah setempat.
Setelah menetap di Nganjuk, Pandergoen dijodohkan dengan perempuan, keturunan dari Keraton Solo, bernama Roro Suratmi. Saat menikah dengan anak seorang perangkat Desa Baleturi ini, Pandergoen dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Yakni, satu laki-laki, dan dua perempuan. Masing-masing adalah Sudarsono, Gundari, dan Hudari Astutik. Ketiganya masih hidup.
Sudarsono tinggal di  Desa ), memiliki anak dua, yaitu Suyanto, tinggal Sidoarjo dan Ratnadewi, tinggal di Desa Baleturi, Kecamatan Prambon.
Gundari tinggal di Desa Baleturi, Kecamatan Prambon, menempati rumah peninggalan Pandergoen. Gundari nikah dengan orang Purwoasri, Mardi Sukamto, dikarunia 4 (empat) anak, yaitu; Witanto tinggal di Desa Baleturi, Ida Waluyatmi, tinggal di Desa Baleturi, Tutik Wahyuni, tinggal di Desa Cabean, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Madiun, dan Nuning Artanti, tinggal di Padang, Sumatera Barat.
Hudari Astutik menikah dengan seorang anggota polisi berdinas di Polresta Surabaya Utara, bernama (alm) Sudarmadji. Dia bersama keluarganya tinggal di Surabaya. Dengan Sudarmadji, Hudari Astutik dikarunia tiga anak, yaitu; Endarwati, tinggal di Kalimantan, Wahyu Sasmito tinggal di Surabaya, dan Dodi Setyawan, tinggal di Surabaya. (BERSAMBUNG)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!