Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari secangkir kopi yang sederhana.Â
Kopi, dengan unsur-unsurnya yang khas - kopi sebagai orang tua, gula sebagai guru, dan rasa sebagai siswa - memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan dan peran masing-masing elemen dalam menciptakan pengalaman yang nikmat.
Seperti dalam segelas kopi, kehidupan juga sering kali pahit atau manis tergantung pada takaran yang tepat. Ketika kopi terlalu pahit, tidak jarang gula yang disalahkan karena terlalu sedikit, membuat "rasa" kopi menjadi pahit.Â
Sebaliknya, jika kopi terlalu manis, gula pula yang disalahkan karena terlalu banyak, sehingga "rasa" kopi menjadi terlalu manis.Â
Ini mengingatkan kita pada peran guru dalam kehidupan, yang ketika kebijaksanaannya kurang atau berlebihan, bisa memengaruhi pengalaman kita.
Namun, ketika takaran kopi dan gula seimbang, menciptakan rasa yang nikmat, semua orang berseru, "Kopinya mantaaap!" Ini mencerminkan harmoni yang bisa dicapai ketika peran orang tua, guru, dan siswa berjalan seiring. Pujian pun tidak hanya terarah pada satu elemen, melainkan kepada keseluruhan.
Mari kita refleksikan peran gula dalam hidup. Meski seringkali tidak disebut secara terang-terangan, gula memberi rasa manis pada kopi, teh, roti, dan berbagai minuman dan makanan lainnya.Â
Meskipun tak tampak, gula memberikan sentuhan manis yang membuat pengalaman itu menjadi istimewa. Begitu juga dalam kehidupan, kebaikan yang kita tanam mungkin tidak selalu diakui, namun, seperti gula, kebaikan itu memberi rasa manis pada kehidupan orang lain.
Selayaknya gula yang tak pernah disebut dalam menyebut minuman atau makanan yang diberi manis, kebaikan yang kita lakukan pun mungkin tidak selalu dikenal atau diakui.Â
Namun, seperti gula yang ikhlas larut dalam memberi rasa manis, mari kita juga ikhlas dalam memberikan kebaikan, tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan.
Kita bisa belajar dari guru yang ikhlas dalam memberikan ilmu dan mendidik. Guru tidak hanya dihargai ketika "rasa" terlalu manis, namun juga ketika siswa berprestasi.Â
Oleh karena itu, menjadi guru yang bangga bukan hanya saat prestasi siswa memancarkan keberhasilan, tetapi juga ketika keikhlasan dalam mendidik menciptakan manusia yang berbudi luhur.
Dalam hidup, seperti dalam secangkir kopi, kita dapat mengambil inspirasi dari gula. Meski tidak selalu disebut atau diakui, kebaikan yang kita sebarkan akan memberi rasa manis pada kehidupan orang lain.Â
Jadilah seperti gula yang ikhlas larut dalam memberikan manisnya, tanpa pamrih, karena kebaikan sejati bukan untuk disebarluaskan, melainkan untuk dirasakan oleh mereka yang menerimanya. (SJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H