Si, dengarkanlah kata hatimu. Semua yang dikatakannya benar! Hidup bersama seorang penulis sepertiku ini adalah kesia-siaan. Tak ada guna. Tak ada harap. Yang ada hanya kelaparan. Melarat. Sengsara!
Jika kau masih membangkang, datanglah ke rumah Mas Joni Ariadinata. Lalu, duduklah di dekatnya. Dengarkanlah ceritanya saat sedang berkisah tentang Kisah Kasih Oto dan Wiwik. Agar kau yakin, hidup bersama seorang penulis benar-benar menjijikkan. Tak punya masa depan. Jauh dari kelayakan! Apalagi kemewahan. Bagaimana tidak? Makananku saja jauh dari kata empat sehat lima sempurna. Kau catat dan dengar baik-baik saat Mas Joni berkata, ‘hari ini indomie, besok sarimi, besoknya lagi supermi, kemudian popmie; dan kalau bosan barulah beli nasi bungkus’. Itulah makanan sehari-hariku, Si. Seorang penulis yang ‘jancuk’ kata Sudjewo Tedjo. Dan Asu kata Butet Kartaredjasa.
Si, ikuti kata hatimu yang telah memilih Raden Ndoro Bei. Lagi-lagi, kata hatimu benar! Bersamanya, kau akan hidup bahagia. Rumah bertingkat dua. Mobil dan motor berjajar di garasi. Kolam renang. Makanan orang-orang Eropa; burger, roti, spageti, pizza. Dan makanan-makanan Jepang yang tak ku ketahui namanya. Kalau kau bosan, bilang saja. Nanti pelayan Mas Bei akan menyediakan nasi di meja. Tak lupa telor ceplok kesukaanmu. Ikan asin. Ayam panggang. Dan... oh ya, aku lupa. Kau lebih suka ayam penyet ya? Baiklah, baik. Langsung saja minta ganti ke si pelayanmu itu.
Si, biarkan aku sendiri. Di sini. Di antara cahaya dop 5 watt yang meremang. Bercumbu dengan bau kertas, pena dan tinta. Bahkan, mengeloni ketiganya. Tenang saja, aku tak mungkin melupakan harum bunga mawar yang menjadi kesukaanmu itu. Terlebih, mawar putih yang keindahan serta wanginya selalu kau agung-agungkan.
Si, meskipun lebih banyak waktu ku habiskan untuk kelon. Dibanding menghabiskan waktu bersamamu. Percayalah, tak mungkin ku lupakan semua kenangan tentangmu. Bahkan, aku masih ingat suara tawamu. Suara tangismu. Serta kegenitanmu. Kejahilanmu. Kemarahanmu. Ceritamu tentang dunia lain. Hutan larangan. Kunang-kunang. Semua masih terkenang. Rapi. Indah. Dan berseri. Tenangkan saja dirimu. Tak perlu risau. Baik-baik kau disana bersama Mas Bei.
Si, mengapa tatapanmu tak lagi setajam mata elang yang menakutkan? Malahan, kulihat tatapanmu itu semakin sayu. Mengapa Si?
Mengapa suaramu tak lagi sekuat dan setegas raja hutan? Lebih banyak ku dengar suaramu parau. Payah kau Si!
Si, bersikaplah seperti malam. Ya, malam! Bukankah kau sendiri yang pernah berkata padaku bahwa kau lebih nyaman ngobrol bersamaku kala malam tiba? Lantas, mengapa kau lupa? Sekarang, ijinkan aku untuk membacakan sajak tentang malam yang menjadi kesukaanmu itu. Dengarkan ya...
Malam...
Meski ia tak terlihat,
Tapi begitu memikat,
Hingga bulan dan bintang melekat. Â
Malam...
Tak pernah sekalipun ia muram,
Apalagi menyalahkan kehendak Tuhan,
Kala membuat siang lebih benderang. Â
Malam...
Adalah bentuk kedamaian,
Tak pernah sekalipun ia dendam,
Meski setan berkeliling saat ia datang,
Dan membuatnya terlihat mencekam,
Sekaligus menakutkan. Â Â
Malam...
Adalah bukti ketulusan,
Tak pernah sekalipun ia kecewa,
Meski ketenangan yang ia bawa,
Dicabik-cabik lolongan serigala.
–  Cepu, 21 Januari 2016 –
Sajak itu hanya sebagian kecil dari kesukaanmu yang ku abadikan, Si. Agar aku tak kehilanganmu. Agar aku selalu merasakan kehadiranmu di sisiku. Menemaniku. Memelukku. Dan kau tahu? Masih banyak kesukaanmu yang lain yang telah ku tulis di berbagai lembar kertas. Menghabiskan beribu-ribu pena dengan berbagai macam warna; hitam, biru, merah, hijau dan kuning. Â
Selain malam, kau suka permata bukan? Itu telah ku tulis, Si! Tak hanya itu, aku juga menulis tentang hutan larangan. Pepe. Kunang-kunang. Walang. Kupu-kupu. Sepeda. Angon. Sari-sari bunga mawar. Bahkan, kelicikan demi kelicikan yang dilakukan Sengkuni kepadamu, juga telah ku catat. Enak saja dia mengusik ketenanganmu. Merobek-robek kesenanganmu. Membelenggumu. Aku tak terima Si. Sungguh, tak terima! Nanti, akan ku tunjukkan kelicikan-kelicikan si Sengkuni itu dihadapan Batara Guru – raja yang menguasai Kahyangan – agar dia menghukum si Sengkuni. Biar tahu rasa dia Si!
Si, berbahagialah kau bersama Mas Bei. Dan, sekali lagi. Biarkan aku disini. Menikmati hangatnya kelon bersama ketiga pacarku yang penuh kehangatan. Kenikmatan. Surga dunia. Sembari menunggu keputusan dari Bathara Guru. Entah menghukumku dengan melenyapkan namamu di hatiku. Atau bahkan, menghukumku dengan mengirim Bisma yang ahli dalam peperangan untuk menebas leherku. Mematikanku. Mengirimku ke Kahyangan. Lalu, menghukumku di Kawah Candradimuka bersama Werkhudara. Â Entahlah Si. Entah! Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mungkin, aku perlu singgah ke rumah Kyai Lurah Semar Badranaya agar mendapat petuah bijaknya yang berkata; Wong cilik ora sugeh bondho nangging sugeh roso – yang artinya : Orang kecil tidak kaya harta tetapi kaya hati.
Lalu kemudian, ku datangi kediaman Cak Nun untuk merobek puisi ‘Doa Mohon Kutukan’ yang beliau bingkai di ruang tamunya pada bagian; Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya, maka sengsarakanlah aku.
Ya, orang kecil yang sok jadi penulis sepertiku ini memang pantas untuk sengsara di Kawah Candradimuka, Si. Dan engkau, layak untuk bahagia! Bahagia bersama Raden Ndoro Bei. Lalu, menulis kisah cinta layaknya Rama-Sinta; yang selalu bahagia.
Sekali lagi, bahagia Si! Ya, Bahagia.
Cepu, 17 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H