Saat membaca tulisan ini, bayangkanlah saya anak pertama yang lahir dalam pernikahan Ayah dan Bunda. Sebuah pernikahan yang Ayah dan Bunda lalui dengan tidak mudah sebab harus menyatukan keluarga Ayah dan keluarga Bunda. Sebuah pernikahan yang akhirnya membuat Ayah dan Bunda menyadari bahwa cinta sejati itu ada. Ada dengan saling menerima kekurangan satu sama lain, saling mengerti dan saling memahami.
Mata saya sebening mata Bunda yang membuat Ayah jatuh cinta pada pandangan pertama. Senyum saya seindah senyum Ayah yang bisa menghilangkan kesedihan Bunda. Tubuh mungil saya seperti tubuh Ayah dan Bunda semasa kecil.
Bayangkan bagaimana Ayah menahan air mata kebahagiaan saat mendengar tangisan saya. Ya, tertahan karena Ayah adalah laki-laki, dan laki-laki dilarang menangis. Bayangkan pula bagaimana Bunda mencium kening saya lalu perlahan berbicara kepada Ayah, "Sayang, apa nama yang cocok buat anak kita?"
Menurut saya, anak kita adalah anak Ayah dan Bunda. Bukan anak Ayah atau anak Bunda. Lantas mengapa sekarang Ayah dan Bunda meminta saya untuk memilih ikut Ayah atau Bunda?
Mengapa Ayah dan Bunda enggan menekan keegoisan masing-masing?
Ayah,
Tak lihatkah sebintik air mata yang bergerak-gerak diujung mata saya. Mana janji Ayah yang semasa kecil ingin menjaga saya? Mana buktinya jika saya adalah cinta pertama Ayah setelah Bunda? Mana Ayah? Mana?
Bunda,
Tak ingatkah disetiap malam ketika engkau membacakan cerita sebelum tidur? Tak ingatkah setiap malam engkau menciumiku dan menganggapku sebagai malaikat kecil? Tak ingatkah Bunda? Tak ingat?
Ayah dan Bunda, saya hanya ingin Ayah dan Bunda kembali seperti yang dulu. Seperti saat Ayah dan Bunda pertama kali berjumpa lalu saling mengumbar senyum satu sama lain. Seperti ucapan Ayah yang bilang, "Ya!"
Saat Kakek bertanya, "Benar kamu mau menjaga anakku?"
Mana Ayah? Engkau tak menjaga Bunda dengan baik! Engkau mengingkari janjimu dengan Kakek Yah.Â
Bunda, tak ingatkah kesanggupan Bunda untuk merawat Ayah selama hidupnya?
Ayah dan Bunda, saya mencintai kalian berdua. Bukan hanya cinta Ayah atau cinta Bunda.Â
Ayah dan Bunda, tahukah kalian disetiap malam saya menangis? Menangis saat mendengar pertengkaran yang terjadi antara Ayah dan Bunda. Menangis sambil menutup telinga agar tak mendengar teriakan Ayah dan Bunda yang saling berteriak satu sama lain.
Ayah dan Bunda, tahukah kalian saat disekolah saya iri terhadap teman-teman. Teman saya dijemput oleh kedua orangtuanya. Bima, teman saya laki-laki bangga terhadap Ayahnya yang mengajaknya bermain bola. Putri, teman perempuan saya bangga terhadap Ibunya yang mengajarinya memasak. Rara, teman saya yang lain bangga terhadap Ayah dan Bundanya yang bersama-sama mengajari dia mengerjakan PR yang diberikan Bu Guru.
Tenang saja, saya tak meminta Ayah dan Bunda seperti Ayah dan Bundanya Bima, Putri atau Rara. Tidak! Tidak itu! Saya hanya meminta Ayah dan Bunda tidak lagi bertengkar dan mementingkan ego satu sama lain. Hanya itu Ayah! Hanya itu Bunda!Â
Jika Ayah dan Bunda masih saja seperti itu, ijinkan saya bertanya, "Mau seberapa lama Ayah dan Bunda mengeluarkan air mata saya? Satu tahun? Dua tahun? Sepuluh tahun? Atau seumur hidup saya?"
Ayah dan Bunda, semoga dengan ini Ayah dan Bunda menyandari kesalahan masing-masing. Dan saya berharap Ayah dan Bunda memeluk saya kembali lalu bersama-sama kalian bilang, "Dia anak kita."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H