Mohon tunggu...
Sujana Donandi
Sujana Donandi Mohon Tunggu... Dosen - Ancora Imparo

Educator, Lawyer, Youth Developer, and Author Lecturer at Law Study Programme, President University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'Penjajahan' Era Baru (Kritik Terhadap Budaya Perfilman dan Musik di Indonesia)

5 Oktober 2014   05:18 Diperbarui: 18 November 2019   12:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esai

Sorak Sorai gemuruh penonton terdengar dari layar Televisi yang saya nyalakan. Awalnya saya acuh tak acuh dan kembali ke meja baca untuk merapikan buku-buku yang tampak tidak kalah 'riuh' dengan suara penonton. Setelah mendengar pembawa acara memperkenalkan beberapa orang yang sepertinya menjadi pusat perhatian para penonton, saya pun menjadi penasaran. Dalam benak saya terbesit pikiran naif dan saya pun kemudian mengecek ke arah Televisi yang sedari saya hidupkan belum mendapat perhatian yang simpati dari saya. "Oh...Tidak!!!! Hal semacam ini lagi... lagi dan lagi...." Saya memelas dalam hati. Acara yang saya maksudkan mungkin penontonnya juga adalah anda!

Acara yang secara tidak sengaja saya lihat sekitar pukul 7.30 malam tadi (3/10/14) adalah acara yang mendatangkan aktor-aktor dari negeri 'Bajaj' yang (meskipun tidak pernah saya tonton) saya tahu filmya sedang sangat "BOOMING" di Indonesia. Sudah beberapa hari ini iklan mengenai kedatangan para aktor-aktor asal negeri Sahrukh Khan tersebut juga menghiasi stasiun Televisi yang menayangkan acara tersebut. 'Aku pengen banget ketemu sama.... Aku pengen dinner, jalan-jalan bareng...... Kamu harus pilih aku, aku akan mengalahkan kontestan lain...." Itu adalah beberapa komentar yang ditayangkan dalam iklan tersebut yang selalu membuat saya mengangkat sebelah alis setiap mendengarnya. Realita inilah yang sedang terjadi saat ini di negeri kita yang tercinta Indonesia.

Saat demam K-POP dan K-DRAMA dari korea belum menurun temperaturnya, kita sudah kembali lg mengalami demam baru berupa demam "BOLLYWOOD". Film-film India yang sebelumnya sempat redup kini kembali bersinar dan menebarkan euforianya. Saat ini, jika kita tanyakan kepada anak-anak Muda, cerita manakah yang lebih mereka ketahui: "Mahabaratta" atau cerita "Putri Pandan Berduri"?? Mana pula yang lebih sering didengar: Musik "K-Pop" atau "Musik keroncong"? Saya cukup pesimistis bahwa jawaban yang kedua dari tiap pertanyaan akan terdengar labih familiar bagi pemuda-pemudi saat ini. Pada posisi ini, saya secara pribadi prihatin. Saat kita tengah begitu semangat untuk menggembar-gemborkan keinginan untuk mencintai karya negeri sendiri, kita justru terlena dengan karya-karya produksi luar. Terlebih, stasiun-stasiun televisi pun sepertinya tidak merasa keberatan untuk memberi porsi besar bagi film-film produksi luar. Tentu saja, The More Adv The More Profit. PEMAKLUMAN AKAN KETIDAKBERDAYAAN Saya kemudian mematikan televisi dan memasang status BBM mengenai keprihatinan saya setelah melihat acara televisi tadi yang saya lanjutkan dengan pertanyaan, "Kapan kita membentuk euforia perfilman kita ke negeri orang?" Beberapa teman mengirim pesan sebagai balasan terhadap status tersebut kepada saya. Salah satunya mengatakan, "Film Indonesia juga banyak kok yang membanggakan dan sukses di negeri orang". Mereka lantas menyebut judul-judul film Indonesia yang mendapat penghargaan dari festival-festival film di luar negeri mendukung argumentasi mereka. Saya merenung sejenak. Mungkin ada benarnya juga pikir saya.

Ketidakpuasan dalam hati muncul saat saya memikirkannya. Menurut saya keadaannya berbeda. Apakah film-film kita itu begitu dielu-elukan di negeri orang? Apakah orang luar negeri membuat acara atau program khusus untuk mendatangkan aktor-aktor kita? Di dunia musik, Kita juga tahu bahwa salah satu artis kita yang sudah lama mengupayakan Go Internasional kemudian berhasil merilis album di Amerika. Efek yang dihasilkan di Amerika? Biasa saja, bahkan kurang dari ekspektasi. Di Indonesia? Lihat apa yang sudah Indonesia lakukan saat mendatangkan Shahrukh Khan dan aktor-aktor serta penyanyi-penyanyi Korea.

Saya lalu membalas pesan teman-teman tadi yang intinya menyampaikan bahwa film-film Indonesia yang mereka sebutkan tadi memang adalah film-film yang hebat. Akan tetapi hanya sebatas itu! Tidak ada efek jangka panjang yang ditanam oleh film-filmyang disebutkan tadi layaknya film korea dan India apalagi Amerika yang menjamur di Indonesia. Film-film Indonesia di luar negeri mendapat pujian yang datang dari para kritikus film yang notabene adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang dalam dan mendasar soal film. Lingkungan yang sangat limitatif. Penayangannya pun hanya di beberapa negara tertentu. Kalaupun film itu sukses, aromanya tidak akan terasa dalam tahun-tahun yang akan datang. Mendengar jawaban tersebut seorang teman lama membalas, "Sulit bro. jangan bandingkan kita dengan mereka. Sangat jauh." WAWWWW!!!!! BINGOOOOO!!!! Itulah masalahnya. Jiwa yang seperti disampaikan teman saya ini yang membuat kita hanya menjadi importir film dan lagu dari luar negeri dan sangat minim dalam mengekspor film kita ke luar negeri. Spirit yang dibawa oleh teman saya itu sepertinya adalah jamur di kulit, yang sayangnya tidak segera diobati hingga terus menjalar ke seluruh tubuh. Saya menyebutnya sebagai "The Spirit of It's Okay". Jiwa pemakluman yang bagi saya tidak boleh dimaklumi.

Kita selalu memaklumi masyarakat lebih menyukai film dan lagu dari hollywood, bollywood, maupun Korea karena kita merasa kita tidak bisa membuat sesuatu yang DAHSYAT seperti mereka. Kita kemudian mencari pembenaran dan legitimasi atas hal tersebut berdasarkan kekurangan SDM maupun Teknologi kita. Televisi kemudian berargumentasi, film luar lebih menguntungkan. Indonesia tidak bisa buat yang seperti itu dan lain sebagainya. It's okay... dan selalu it's okay bagi kita selama hati kita senang, Televisi untung, masyarakat tenang, dan orang lain tidak terganggu. Jiwa inilah yang selalu meliputi jiwa bangsa yang hanya akan merangkak dan kemudian terjatuh tanpa mampu bangkit lagi untuk menuju kemajuan.

Kita seharusnya belajar dari Jepang. Mereka memiliki spirit yang luar biasa. Mereka menyebutnya "The Spirit of Excellent". Spirit yang menuntut optimalisasi diri. Spirit yang tidak menaruh toleransi terhadap pemakluman akan ketidakberdayaan. Spirit persaingan dan kompetisi unggul. Hal ini hanya akan terwujud melalui masyarakat yang sadar diri dan memiliki visi besar lebih dari sekedar "saya senang, masyarakat tenang, dan tidak ada orang yang terganggu".

PENJAJAHAN MODEL BARU 

Saat hendak mencari kata-kata melanjutkan tulisan ini, saya seperti mengalami kontempelasi dan perenungan mengenai apa sebenarnya beda antara karya dari luar yang masuk ke Indonesia dengan karya Indonesia yang sudah pernah mendapat apresiasi di luar negeri. Saya menemukan satu kata yang membedakan keduanya yaitu "EKSPANSI" atau yang secara sederhana kita pahami sebagai 'perluasan'. Dalam bahasa inggris disebut 'EXPANSION' yang dalam kamus Oxford English diartikan sebagai 'the action of becoming large or expanding' - "Aksi untuk munjadi lebih besar atau meluas".

Saya teringat akan cerita sukses musisi legendaris asal Inggris 'The Beatles' yang mengguncang Amerika dengan lagu-lagunya yang menurut saya sebagian terkesan picisan namun cukup artistik di era 60-an. Sejak sukses di Amerika, grup yang digawangi John Lennon, Paul Mccartney, George Harrison, dan Ringo Starr ini kemudian menuai sukses ke seluruh penjuru dunia. Para penggemar khususnya wanita yang menyebut diri mereka "BEATLEMANIA" sangat histeris setiap keempat pria asal Liverpool itu melakukan konser. Kondisi sangat ribut dan tidak terkontrol. Saking euforianya, The Beatles sendiri memutuskan berhenti melakukan konser sejak 1966 karena setiap konser, musik yang mereka mainkan tidak lagi terdengar karena kerasnya suara penonton. Sejak datangnya The Beatles arus masuknya musisi Inggris ke Amerika seperti Rolling Stones, Led Zeppelin, dan musisi Inggris lainnya terus berlangsung hingga kini. Anda pun mungkin adalah salah satu penggemar Coldplay atau Oasis yang lagu-lagunya sering kita dengar saat ini.

Istilah populer pun muncul sejak masuknya The Beatles yang disebut dengan "British Expansion" atau yang dapat dipahami sebagai masuknya musisi-musisi Inggris ke Amerika dan mengambil tempat di dunia showbiz di Amerika. Sukses di amerika maka kesuksesan di seluruh dunia pun mengikuti musisi-musisi tersebut. Lebih dari satu dekade terakhir kita kemudian melihat bagaimana Korea melakukan ekspansi seni dan budaya ke seluruh asia bahkan dunia dan mereka menuai sukses besar. Apakah itu sekedar keberuntungan atau memang karena mereka memiliki talenta yang luar biasa? Oke, mungkin mereka memang memiliki keduanya. namun jika kita melihat bagaimana upaya pemerintah korea maupun seniman korea mewujudkan ekspansi mereka maka kita akan tahu bahwa kesuksesan tidak diraih dalam semalam.

Pemerintah Korea telah merancang apa yang saat ini menjamur di seluruh asia dari jauh hari. mereka memberikan beasiswa pendidikan dan memberangkatkan seniman-senimannya untuk belajar langsung dari dari ahli-ahli 'Showbiz' seperti amerika. Mereka belajar bagaimana mengeksplorasi potensi seni dan budaya yang dimiliki serta bagaimana memasyarakatkan budaya mereka secara luas. Alhasil, musik dan film korea sangat digemari.

Masyarakat Indonesia sendiri, khususnya para remaja terus menerus meng-update dan mencari informasi mengenai lagu serta film dan drama baru korea. Kehidupan para aktornya pun tidak luput dari perhatian. Suatu partisipasi voluntair yang sangat berbeda dengan antusiasme film Indonesia di luar negeri. Kita melepas satu produk yang kemudian mendapat apresiasi dari masyarakat. Sayang, lagi-lagi hanya sampai batas itu saja. masyarakat tidak merasa ada euforia ataupun fanatisme tersendiri terhadap karya Indonesia. Pada tahap ini saya merasakan perbedaan antara film yang kita ekspor dan impor- KITA TIDAK MELAKUKAN EKSPANSI, hanya produksi.

Ekspansi seni dan budaya melaui film dan musik merupakaan model baru dari penjajahan. Penjajahan yang satu ini adalah penjajahan yang membawa keceriaan. Kita dijajah namun kita begitu senang dan tersenyum dan memberi sanjungan tinggi apabila membicarkan film dan musik dari luar negeri. Kita tidak pernah sadar bahwa kita sedang dijajah- MELALUI SENI DAN BUDAYA. SALAH SIAPA? Salahkah negara-negara itu karena berhasil melakukan ekspansi film dan musik ke Indonesia? Mereka tidak melakukan kesalahan apapun kepada kita. Itu adalah prestasi mereka dan kita tidak boleh menyalahkan mereka atas prestasi mereka karena mereka telah bekerja keras dalam membangunnya. Kita harusnya menyalahkan diri kita karena gagal menghadapi persaingan.

Beberapa pernyataan yang sering saya dengar dari orang-orang maupun teman-teman saya sendiri (juga mungkin anda) adalah bahwa apabila mereka ingin menonton ke bioskop, mereka tidak akan memilih menonton film Indonesia. "Saya lebih baik tunggu keluar di internet saja (bisa di download gratis). Rugi (kalo nonton di bioskop)." Pernyataan ini sekaligus menanamkan paradigma pada diri kita sendiri bahwa film dari negeri sendiri tidak bagus dan harga yang harus kita bayar di bioskop tidak sepadan dengan kualitas film yang kita saksikan. Kita juga lebih suka mendengar dan memuji setinggi langit lagu-lagu barat, K-Pop atau bahkan lagu india ketimbang musik Indonesia yang sebenarnya tak kalah unik dan berkarakter. Lalu salah siapa? Salah kita sendiri. Salah kita karena film kita lebih banyak menonjolkan 'hantu-hantu' yang hanya menonjolkan 'keseksian yang tidak seksi'. Salah kita sendiri kita tidak mau memperbaiki kualitas perfilman kita. Salah kita juga tidak mau memasyarakatkan musik khas dari negara kita. Salah kita, ya, SALAH KITA SENDIRI.

Menjajah melalui ekspansi seni dan budaya adalah penjajahan yang sangat elegan. Tidak ada yang salah dengan penjajahan yang satu ini. Kalaupun ada yang salah, itu pun lagi-lagi adalah kesalahan kita karena terlena dan membiarkan mereka terus masuk ke Indonesia. Sebenarnya, kita pun seharusnya bisa melakukannya. Kita harusnya dapat membuat film tentang Kisah Malin kundang atau cerita rakyat lain yang kemudian menjadi hits di Amerika dan para aktornya diundang dan dibuatkan program khusus untuk bertemu para penggemarnya. MENGAPA TIDAK? SAATNYA BERBENAH - MENUNJUKKAN KARAKTER SENDIRI Jadi, masih adakah harapan? SANGAT BESAR. apa yang tidak mungkin? Jika kita lihat bagaimana Amerika, Inggris, Korea, India dalam melebarkan sayapnya kita akan menemukan bahwa mereka tampil dengan menunjukkan karakteristik dan kekhasan mereka. Mereka bukan plagiator. Hollywood bangga dengan film dan musik mereka yang glamor dan penuh efek teknologi. Korea bangga menunjukkan budayanya serta lagu-lagunya yang diiringi dengan gerakan yang enerjik. India punya kebudayaan, tarian, dan musik yang tak pernah lupa mereka sisipkan dalam film-film yang mereka produksi. Mereka adalah sosok-sosok pionir- para perintis. Mereka bangga menjadi diri mereka sendiri. Paling penting adalah mereka yakin bahwa kekhasan mereka adalah kelebihan mereka.

Indonesia kaya akan seni dan budaya. Harusnya, Indonesia dipermudah dalam menemukan ide untuk menghasilkan karya yang berbeda dan lain daripada yang lain. Indonesia tidak seharusnya terpaku kepada anggapan bahwa film yang bagus adalah film aksi ala Arnold Schwarzenegger . Indonesia harus yakin bahwa karakteristik Indonesia juga adalah karakteristik yang menarik dan dapat diekspansi secara global. Indonesia punya cerita-cerita rakyat yang identik dengan sejuta konflik dan keindahan dalam alur ceritanya. Mengapa kita terkesan enggan mengembangkannya? Lalu apa pula yang salah dengan musisi kita yang sudah Go Internasional namun tidak mampu menghadirkan euforia tersendiri? Secara teknik, penyanyi ini mungkin adalah salah satu penyanyi terbaik di tanah air. Menurut saya penyebabnya karena ia mencoba menjadi seperti orang amerika. Ia menyanyikan lagu-lagu tipikal orang Amerika dan ia menyanyi layaknya orang amerika. Apa ada hal unik yang dilihat oleh orang amerika darinya? TIDAK ADA!! Terlalu umum. Tidak ada salahnya memang bagi orang indonesia untuk mencoba sukses dengan menempuh jalur mainstream ataupun mengikuti selera yang sudah ada. Saya pun yakin hal itu bisa terjadi. Akan tetapi, untuk itu seorang musisi harus benar-benar hebat. Ya, benar-benar hebat dan terkadang hal ini bukan hanya sekedar tentang kemampuan dan teknik bernyanyi.

Apabila anda ingin ke Italia dan memulai bisnis disana, anda tidak seharusnya menjual Pizza, bukan? Sudah terlalu umum. Mereka bahkan sudah membuat ribuat varian Pizza sebelum orang indonesia mengenal Pizza. Kita seharusnya menjual TEMPE GORENG! atau MPEKMPEK KHAS PALEMBANG! Itu baru sesuatu yang baru.

Sejarah membuktikan bahwa Korea sukses dengan ekspansi seni dan budayanya karena pemerintah yang mendukung upaya pengembangan seni dan budaya mereka secara total.Dukungan ini kemudian menuai ganjaran positif bagi Korea sendiri khususnya secara ekonomi. Film dan lagu korea laku keras di pasaran. Tempat-tempat syuting drama korea pun kemudian menjadi obyek wisata yang sangat digandrungi oleh pelancong dari luar korea. Indonesia harusnya mampu memberi perhatian yang besar kepada upaya ekspansi seni dan budaya.

Pemerintah harus meningkatkan sarana, prasarana, serta kesempatan bagi film dan musik dengan berkarakteristik lokal dapat maju ke dunia internasional. Dukungan terhadap seniman harus ditingkatkan. Mereka harus diberi ruang serta dukungan berupa akses pendidikan untuk dapat belajar langsung dari negara-negara yang sudah berhasil menunjukkan diri dalam ekspansi seni dan budayanya. Porsi penayangan film dan musik di televisi juga berpengaruh. Semakin sering orang indonesia menonton film dan mendengarkan musik amerika, korea, dan india maka makin tertanam di diri mereka bahwa film dan musik yang bagus adalah dari negara-negara tersebut.

Pengawasan dan regulasi mengenai porsi penayangan film dan musik di Indonesia harus mengedepankan karakteristik bangsa. Sekali lagi, sejarah juga menunjukkan untuk dapat sukses dalam melakukan ekspansi, karya-karya tersebut harus terlebih dahulu diangkat setinggi-tingginya di negeri sendiri. Pada sektor hilir, tanpa adanya karya maka upaya-upaya lain tidak akan berarti. Tantangan terbesar ada pada insan seni di Indonesia untuk menghasilkan karya yang mampu mendorong ekspansi film dan musik Indonesia ke dunia internasional. Kita dapat mengemas film-film dengan cerita khas daerah Indonesia secara eksklusif. Untuk hal ini, tentu perlu dedikasi dan komitmen untuk terus belajar dan mengeklsporasi teknik dan metode-metode dalam mengemas film dan musik. Ataupun jika kita kemudian mengangkat cerita dengan tema yang bersifat universal, maka kita dapat memasukkan eksistensi lingkungan alam dan sosial Indonesia yang penuh dengan keindahan dan dinamika.

Produksi harus didorong terus dan diimbangi dengan kualitas yang baik agar karya-karya film Indonesia terus hadir dan kemudian dapat mengambil tempat, sehingga terjadi permintaan yang terus menurus atas produksi film dan musik dari Indonesia di dunia Internasional. Inilah saatnya kita ikut melakukan penjajahan yang positif dengan memperkenalkan karya film dan musik kita secara luas. masihkah kita mau dijajah oleh negara-negara lain yang menempatkan serta mendirikan fondasi seni dan kebudayaan mereka di tanah nenek moyang kita? Atau kita ingin bangkit dan 'mengamuk' untuk 'membalas' mereka? INILAH SAATNYA EKSPANSI! SELAMAT DATANG 'INDONESIAN EXPANSIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun