Meskipun memiliki reputasi bagus, bukan berarti Syahril Japarin dengan mudah mendapat dukungan dari jajaran direksi lainnya. Mungkin mereka pesimis Syahril dapat menyelesaikan permasalahan di Djakarta Lloyd yang sangat rumit, apalagi janji pemerintah untuk memberikan dukungan pembiayaan dan pekerjaan belum saja terealisasi, sehingga tidak hanya Syahril tapi semua direksi dan komisaris juga tidak menerima gaji.
Puncaknya terjadi pada akhir tahun 2011, setelah 12 (dua belas) bulan tidak menerima gaji dan belum terealisasinya bantuan pemerintah untuk Djakarta Lloyd, akhirnya kelima direksi yang awalnya ditunjuk Menteri BUMN bersama Syahril Japarin memutuskan untuk mengundurkan diri.
Sadar tak mungkin bisa mengendalikan kapal sendirian, Syahril mencoba menghubungi Arham S. Torik, kawan lama dan mantan staffnya di PT Aetra Air Jakarta dan ditawari posisi sebagai Direktur Keuangan & Pemasaran.
Saat dihubungi, posisi Arham adalah Senior Manager Compliance and Assurance Group (setara GM). Awalnya, Arham enggan bergabung dan tidak langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Ketidaktertarikan Arham bergabung dengan Djakarta Lloyd bukan karena sombong, namun karena kondisi keuangan BUMN tersebut minus dan direksinya tidak menerima gaji. Alasan Arham saat itu masuk akal. Mengingat, tanggung jawabnya untuk menghidupi istri dan anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah.
Meskipun Arham berkali-kali menolak ketika dihubungi via telepon, perjuangan Syahril mendapatkan Arham tidak berhenti. Dia kemudian mengajak Arham lari pagi dan bertemu di sebuah taman, dekat Ragunan. Dalam pertemuan pada Minggu pagi tersebut, Syahril Japarin kembali mengutarakan niatnya untuk mengajak Arham bergabung di Djakarta Lloyd. Sahril mengajak Arham bukan sebagai teman, tetapi mengajak untuk mengabdi kepada merah putih, mengabdi kepada bangsa dan negara.
Atas tawaran tersebut, Arham mengajukan pengunduran diri dan sudah lepas dari Aetra. Untuk  membiayai keperluannya pada awal bergabung dengan Djakarta Lloyd dengan uang pribadi. Ia menjaminkan rumahnya sebesar Rp 600 juta. Selain itu, Ia juga banyak membuat kartu kredit sebagai antisipasi untuk membiayai hidup keluarganya kalau tidak mendapatkan gaji lebih dari tiga bulan.
Setelah mendapatkan Arham S. Torik, Syahril Japarin perlu satu orang direktur lagi untuk membangkitkan perusahaan yang sedang kandas tersebut.Â
Direktur Operasi dan SDM adalah posisi berikutnya yang harus segera diisi oleh tenaga yang kompeten dan handal. Untuk mengisi posisi jabatan ini Syahril percayakan kepada Erizal Darwis, yang saat itu menjabat sebagai salah satu GM di Group Perusahaan Samudera Indonesia.
Sebelum mengajukan persetujuan ke Kementerian BUMN bagi Arham dan  Erizal Darwis sebagai direksi Djakarta Lloyd, berkali-kali Syahril harus yakinkan mereka berdua tentang perlunya semangat team work, kerja ikhlas dan kerja keras serta keyakinan bahwa badai kesulitan operasional Djakarta Lloyd ini akan segera berlalu ditangan mereka bertiga.