Menaklukan Jakarta sulit bagi pencari kerja dengan mimpi gaji besar dan fasilitas nyaman. Mereka seringkali frustasi di tengah jalan karena impiannya tidak tergapai. Menaklukan Jakarta sulit pula bagi pencari kerja dengan modal pendidikan pas-pasan tanpa memiliki keterampilan.
Banyak pemuda dari Jawa, isitlah orang-orang kecil dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura yang tinggal di Jakarta. Kemudian dari  Sumatera, Palembang, Lampung, Medan meninggalkan kampung halaman pergi ke ibu kota mencari peruntungan, namun tidak sedikit yang gagal.
Jakarta masih menjadi magnet bagi warga di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Sumatera serta berbagai penjuru tanah air untuk  menuai keberhasilan dalam mencari nafkah.
Tak sedikiti orang dapat mencari nafkah  dapat dilakukan  dengan mudah dan bermodalkan murah. Sektor non-formal menjadi kekuatan keberhasilan mereka di Jakarta. Mereka mengambil profesi pedagang, terutama berjualan makanan yang selalu laku karena banyaknya konsumen, sehingga bisa  untung.
Mereka umumnya  hidup dengan cara kos atau kontrak rumah petak di daerah ibu kota seperti kompleks Petojo, Penjaringan, Sawah Besar, dan daerah-daerah di tengah kota dengan bangunan tidak mewah.Â
Kos-kosan mereka menjadi hunian tidak teratur dan sangat padat. Mereka memburu harga yang  terjangkau di tengah kota agar  mudah akses dan memasarkan barang daganganya. mereka juga berharap bisa menempatkan gerobag atau sepeda motor sebagai sarana berjualan.
Habib, bapak dua putra asal Sidadadi, Cipari, Cilacap, Jawa Tengah menjadi satu dari sekian banyak orang yang berhasil menaklukkan Ibu kota, menaklukan Jakarta.
Ia saat itu pergi ke Jakarta karena di kampungnya tidak ada pekerjaan dan penghasilan yang mencukupi untuk hidup layak. Ia pun pergi ke Jakarta dua puluh tahun lalu merantau ke Jakarta.
Habib memilih menjadi penjual nasi pecel, mendoan, bakwan, teh manis dan kopi di Jalan Pembangunan III, Petojo, Gajah Mada. Dengan bermodalkan gerobag, pecel Habib laris manis.
Membuka jualan pukul 10.00 pagi, pukul 16.00 sore daganganya  sudah ludes. Sebungkus pecel, lontong dan mendoan dan 1 gelas air meniral cuma Rp10 ribu. Sangat pas untuk kaum pekerja dengan gaji pas-pasan dan sedang.
Dengan pendapatan bersih sekitar Rp10 juta per bulan, Habib harus membayar kos-kosan Rp 2 juta perbulan untuk 3 kamar. Sisanya untuk menyekolahkan anak, menabung, serta berkirim ke kampung halaman. Habib merasa nyaman dapat berjualan pecel dan mendoan. Modalnya kecil, labanya lumayan.
Rahman, pria asal Madura memilih profesi berjualan kopi, teh, berbagai minuman saset keliling dengan sepeda. Jumlah mereka ratusan di ibu kota. Mereka membagi wilayah jualan di daerah-daerah jalan protokol.
Rahman biasa nongkrong di depan Kantor Kementerian BUMN, Jalan Merdeka Selatan. Bila ada momen-momen acara, mereka bersatu berjualan di tempat yang sama. Ada gula ada semut, demikian mereka berjualan, tidak harus menetap, tapi memburu rezeki di tempat keramaian pada momen-momen tertentu.
Beda Habib dan Rahman, orang-orang kecil penakluk Jakarta juga menghiasi daerah Kota Tua, Jakarta. Mereka berjualan soto madura, mie betawi, pecel Lamongan, hingga mainan anak-anak yang menghiasi daerah sepanjang sisi trotoar Jakarta Kota Tua.
Mereka berjualan dengan gerobag dan sebagain menggelar tikar dan atas trotoar dan juga menyediakan bangku-bangku plastik untuk para konsumenya.
Usaha mereka dapat langgeng karena harga terjangkau. Mereka juga umumnya kos atau kontrak rumah di sekitar Jakarta Kota, di lahan KAI yang cukup luas.Â
Mereka menjadi kekuatan ekonomi pelaku UKM mandiri. Mereka gigih mencari nafkah di Ibu Kota, terutama kaum ibu yang seringkali mendorong gerobak jualan.
Bagi mereka, tempat dan gerobak menjadi aset berharga untuk membuka pintu rezeki dari Allah, Tuhan Sang Pemberi Rezeki. Mereka tak pernah khawatir akan pemberian rezeki dari Sang Pencipta. Â Â
Kisah orang-orang kecil penakluk Ibu Kota juga dilakukan Warung Tegal (Warteg-warteg) yang tersebar di Ibu Kota. Makanan khas Jawa Tengah menjadi pilihan pekerja kantoran berkantong cekak. Warteg sudah terkenal masakanya enak, tempatnya sederhana, dan harganya terjangkau.
Bu Santi salah satu orang kecil penakluk Jakarta. Pemilik "Warung Bu Santi" Â di Jalan Pembangunan II ini bukan hanya sekedar mencari nafkah, tapi warungnya juga menjadi ajang belajar bagi anak-anak dari Brebes dan sekitarnya.Â
Sembari bekerja, Bu Santi menyebarkan imli memasak, ilmu pemasaran dan cara melayani konsumen secara baik. Warung Bu Santi sangat ramai pengunjung, terutama di hari kerja.
Berkah Warungnya karena ia mau berbagi ilmu. tak terhitung sudah berapa puluh pekerjanya berganti. ada yang menikah, ada yang membuka usaha Warung di tempat lain. semua menjadi berkah berkat berbagi dari Bu Santi.
Para pekerja Warung Bu Santi tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan, mereka bekerja sama membangun bisnis warteg di Jakarta. Pekerja Warung Bu Santi hingga 4 orang. Mereka gigih bekerja dan menabung untuk membantu orang tua di kampung halaman.
Orang-orang kecil penakluk Ibu Kota merupakan pekerja informal yang peran dan keberadaan mereka sangat dibutuhkan dalam kehidupan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H