Gelaran Pilkada untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota sudah di depan mata, tinggal menunggu hari, Â pada 27 Juni 2018 mendatang Pilkada akan dilaksanakan serentak. Gelaran pemilihan calon pemimpin di legislatif dan presiden akan digelar pada 2019 mendatang. Pilkada, dan Pilpres akan berlangsung beruntun dalam 2 tahun. Tak heran bila sejak 2008 dilabeli sebagai tahun politik.
Demokrasi menjadi arena syah meraih kekuasaan di legislatif dan pemerintahan. Parpol sebagai mesin pengkaderan pemimpin bangsa tak berjalan mulus dalam menjalankan fungsi pengkaderan, sehingga beberapa partai belum menemukan sosok pemimpin muda berintegritas untuk dipercaya memimpin bangsa berpenduduk lebih dari 256 juta jiwa ini.
Keberisikan politik menjelang pemilu, meskipun dimaklumi, Â dari segi sopan santun dan etika politik bangsa yang terkenal memiliki tata nilai pergaulan yang tinggi, hal tersebut akan membuat negeri ini makin tercoreng dengan hiruk pikuk di dunia politik, terutama dijagat maya. Dunia maya yang seharusnya diisi dengan penuh kedamaian menjadi ajang penuh kebencian dan perpecahan. Bersykur meskipun kita ramai di dunia maya, bangsa ini masih dilindungi Allah Tuhan Yang Maha, sehingga keutuhan bangsa masih terus terjaga.
Para calon pemimpin daerah yang sedang berjuang untuk memimpin bangsa terus berupaya maksimal agar suara rakyat berpihak kepada calon pemimpin yang memiliki ketakwaan kepada Allah, sehingga mampu membawa bangsa ini maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia yang lebih maju, aman dan damai.
Pilkada DKI pada 2017 lalu menjadi pelajaran bagi kita semua. Meskipun hampir mayoritas menjagokan Ahok-Jarot, justru  yang terpilih memimpin DKI Jakarta Anies-Sandi dengan kemenangan telak. Belajar dari Pilkada DKI Jakarta, pada Pilkada, khususnya Jawa di mana PDIP sebagai partai penguasa sudah kehilangan dua kepala daerah di Banten dan Jakarta. Masih ada  3 provinsi di Jawa yang menggelar Pilkada, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Jabar  sebelumnya dipimpin gubernur dari PKS dan partai koalisinya. Jawa Tengah dipimpin PDIP dan Jawa Timur dipimpin Partai Demokrat. Pada Pilkada 2018, koalisi di masing-masing Pilkada berubah komposisi partai pendukungnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan politik untuk berkuasa.
Hal paling seru dibidang politik adalah Pilpres di 2019 mendatang. PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB mendukung kembali Pak Jokowi menjadi calon presiden (Capres) di 2019 mendatang. Sementara Gerindra masih sendirian mencalonkan jagonya yang juga ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Meskipun usia Prabowo terus bertambah, Partai Gerindra masih belum memiliki kader muda untuk disandingkan pada Pemilu 2019, sehingga Gerindra masih mencalonkan jago pedotan (jago yang kalah diadu lagi dengan lawan yang sama).
Gerindra masih yakin jago tua yang akan diusung masih memiliki pengaruh dan mampu mengalahkan Jokowi. Sebagai ketua umum partai, akan  lebih bijak bila Prabowo mengajukan calon lain yang lebih muda, lebih segar dan disukai pemilih. Sayangnya Gerindra belum mampu mengkader generasi muda masuk dan menjadi kandidat  khususnya di  Pilpres 2019.
Tawar menawar siapa Cawapres Jokowi masih riuh dan PDIP belum menetapkan nama calon pendamping Jokowi. Sebaliknya penantang Jokowi masih takut-takut dan penuh perhitungan menyodorkan nama calon. Partai  Demokrat yang  memiliki kader muda potensial yang juga putra mantan presiden, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang memutuskan pensiun dini dari militer dan terjun ke dunia politik.Â
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sarat pengalaman masih menyimpan putra sulungnya untuk bertarung di Pilpres. Ketua Partai Demokrat itu  sangat perhitungan dan hati-hati dalam memilih kawan partai pengusung.  SBY tidak ingin kadernya terluka babak belur bila kalah di Pilpres melawan Jokowi dan sulit bangkit pada Pilpres berikutnya.