Kamis (1/2} malam tim "Pelni Peduli Asmat" tiba di Pelabuhan Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat, Papua Barat. Tim Pelni terdiri dari Manager PR dan CSR Akhmad Sujadi, Fandi, dan Bayu dari tim medis Rumah Sakit Pelni, anak perusahaan dari PT Pelni (Persero). Tim datang setelah menempuh perjalanan laut selama 16 jam dari Timika dengan KM Tatamailau.
Menembus ombak dan badai laut Arafuru, KM Tatamailau seharusnya berangkat dari Timika pukul 05.00, namun karena kondisi pelabuhan kurang memadai, para pelanggan Pelni memilih menungggu di dalam kapal sejak kapal sandar pukul 03.00 dini hari.Â
Kondisi pelabuhan yang menyeramkan dan kondisi di luar kapal yang masih gelap mendorong pelanggan Pelni bertahan di dalam kapal untuk mencari rasa aman. Meskipun jadwal sandar hanya 2 jam, Pelni harus toleran dengan berbagai keterbatasan yang menimbulkan keterlambatan kapal.
Kapal menjadi satu-satunya fasilitas yang aman bagi pelanggan di Pelabuhan Pomako Timika. Karena menunggu bongkar dan muat barang yang begitu banyak, Kapal telat berangkat hingga 3,5 jam. Dermaga yang sempit serta banyaknya pelanggan yang turun dan naik dengan aktivitas di pelabuhan sangat padat menuntut kesabaran ABK kapal-kapal Pelni yang melayari negeri hingga pelosok Nusantara.
Pukul 05.00 ketika Tim "Pelni Peduli Asmat" tiba di Pelabuhan Pomako Timika, para penumpang baru keluar dari kapal mulai pukul 05.30. Wajah sumringah tampak memancar dari para pelanggan kapal Pelni dengan trayek Bitung-Tidore-Bacan/Babang-Sorong-Fakfak-Kaimana-Tual-Timika-Agats-Merauke ini.
Pada trayek Sorong-Timika-Merauke pelanggan mayoritas warga Papua, penumpang di luar warga Papua hanya berkisar 5 % dari seluruh penumpang sekitar 574 orang pada pelayaran Timika-Agats-Merauke.
Karena terlambat berangkat, KM Tatamailau yang seharusnya tiba di Agats pukul 15.00 kapal baru tiba pukul 21.00. Keterlambatan karena kapal harus berlabuh di muara untuk menunggu air pasang agar kapal dapat bersandar di pelabuhan Sungai Agats.Â
Surutnya air di alur sungai mengharuskan KM Tatamailau berlabuh jangkar di muara di di lautan menunggu hingga pukul 19.00. Kapal baru dapat bergerak menyusuri sungai dan sandar pukul 21.05 WIT, nakhoda, ABK dan seluruh pelanggan Pelni harus bersabar dengan kondisi alam di Papua.
Tepat pukul 21.05 WIT, kapal buatan Jermana tahun 1991 ini sandar di Pelabuhan Agats. Kondisi dermaga yang sempit, sementara warga sudah menunggu di pelabuhan sejak kapal terlihat dari kejauhan.
Ketika tim "Pelni Peduli Asmat" membawa bantuan kemanusiaan, bersamaan pula datang bantuan dari berbagai lembaga tiba di Pelabuhan Agats, sehingga kondisi dermaga menjadi sangat padat disesaki ribuan kardus bantuan yang dimuat kapal dari berbagai instansi, BUMN dan sekolah tiba bersamaan. Hal ini membuat padat pelabuhan yang lampunya sangat terbatas. Pelabuhan sedikit terang karena sorot lampu kapal yang menerangi dermaga.
Setelah Nakhoda KM Tatamailau, Capt. Ridwan Wijayanto, menyerahkan bantuan kepada Kepala Dinas Sosial Kabupaten Asmat mewakili Bupati, Tim "Pelni Peduli Asmat" berkesempatan menyusuri Kota Asmat. Tim menuju Posko penanganan gizi buruk dan campak. Mengunjungi Rumah Sakit Agats dan mengunjungi kantor Cabang PT Pelni (Persero) Agats.
Sungguh di luar dugaan, Ibu Kota Kabupaten Asmat di Kota Agats tidak seperti kota-kota lain di Jawa atau kota-kota di berbagai belahan Nusantara pada umumnya yang berupa tanah daratan luas. Kota Agats merupakan kota di atas rawa-rawa.
Berkunjung ke Asmat seperti menyeberangi jembatan panjang, sempit sepanjang jalan. Di kanan kiri jalan terpasang papan dan sebagian cor yang menurut info pasirnya didatangkan dari luar Papua terdapat bangunan perkantoran, Puskesmas, masjid, rumah sakit, sekolah semua berdiri di atas papan di bawahnya rawa-rawa yang lama kelamaan makin tidak sehat sebagai sarana tempat tinggal dan aktivitas keseharian warga.
Sarana transportasi utama adalah perahu, berikutnya gerobag dorong ditarik tenaga manusia sebagai sarana mengangkut barang. Sepeda motor listrik menjadi pilihan karena sulitnya akses untuk distribusi BBM. Untuk BBM diutamakan untuk perahu mesin ke pedalaman yang tersebar dan jaraknya jauh.
Kondisi kota dengan 95 % rawa menjadikan budaya dan kehidupan di Kabupaten Asmat rentan terserang penyakit campak dan gizi buruk mengancam akan berlanjut bila relokasi warga untuk pindah ke daratan yang lebih baik tidak dilakukan.
Anak, ibu saudara-saudara kita di Kabupaten Asmat umumnya kurus-kurus. Perjuangan mereka mencari penghidupan yang minim fasilitas menjadikan Kabupaten Asmat sulit maju.
Menyelesaikan masalah Asmat tidak bisa hanya memberikan bantuan kemanusiaan saat ada musibah, namun solusi permanen harus diciptakan menuju masyarakat yang sehat dan beradab. Relokasi atau pindahkan kota ini ke daratan yang lebih layak. Papua merupakan pulau besar, buka lahan baru untuk pemukiman warga Asmat. Relokasi menjadi solusi permanen bagi warga. Penyediaan rumah subsidi layak dipindahkan dari Jawa ke Papua. Saatnya membangun Papua secara menyeluruh. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H