Oleh: Akhmad Sujadi
Sejak diberlakukan pola operasi single operation (satu sistem operasi) di mana semua KRL Jabotabek berhenti di stasiun, dilanjut peleburan kelas KRL Ekspres, Ekonomi AC dan KRL Ekonomi menjadi KRL Commuter Line (CL), Pengguna KRL mengeluh makin sumpek, makin molor perjalananya dan ada pula yang bilang makin melelahkan.
Pengguna KRL makin mengeluh lagi, terutama eks penumpang KRL Ekspres Pakuan Bogor, Bojonggede, Depok, Serpong dan Benteng Tangerang Ekspres. KA Ekspres ini dulu jagoannya KRL. Waktu tempuhnya singkat karena tidak berhenti setiap stasiun dan gagah bisa menyalip KRL ekonomi.
Pada masa beroperasinya KRL AC di Jakarta setelah menerima hibah dari Pemerintah Tokyo 72 unit KRL pada tahun 2000, Daop 1Â dan Divisi Jabotbek sebagai penyelenggara KRL, meluncurkan produk KRL Ekspres Pakuan dan terus bertambah hampir di semua lintas dengan nama stasiun pemberangkatan KRL Ekspres.
Permintaan KRL Ekspres atau KRL AC terus tumbuh dan Divisi Jabotabek yang kini menjelma menjadi perusahaan swasta sebagai anak usaha KAI makin kenceng beli gerbong KRL bekas dari Jepang.
Selain harganya murah KRL AC ini juga diminati pengguna dan operator. Selain masih layak pakai, KRL yang di negeri Sakura seharusnya rongsokan ini memiliki nilai ekonomi strategis, khusus bagi operator karena kalau investasi KRL baru mungkin sulit mengadakan KRL.
Keuntungan bagi penumpang harga tiket terjangkau oleh penumpang. Karena KRL baru perhitungan tarif tentu berdasarkan investasi yang lebih besar dan tentunya biaya itu dibebankan kepada penumpang. Beruntung pemerintah memberikan subsidi penumpang KRL Jabotabek.
Makin tambahanya armada KRL makin tambah masalah karena penyiapan tempat stabling (parkir) KRL makin kurang. Karena terbatasnya stabling di Depo-Depo KRL maka stabling KRL menggunakan beberapa emplasemen stasiun.
Waktu terus berkembang, pasca pemberlakuan pola operasi Single operation, perjalanan KRL yang menganut azas menjemput dan mengantar penumpang dari stasiun awal hingga tujuan membuat kesulitan operator menambah frekuensi perjalanan. Maka sejak akhir 2011 diberlakukan pola operasi loop line.
Pola operasi loop line membuat penumpang tambah sengsara. Karena penumpang yang semula dimanja tetap di dalam gerbong KRL harus turun, pindah di stasiun transit dan harus bersusah payah bila harus berganti KRL untuk meneruskan ke stasiun tujuan.
Perubahan pola operasi ini mendapat protes keras dari penumpang. Mereka membuat petisi penolakan pola baru operasi KRL. Penumpang dari Bekasi ke Sudirman, Tanahabang. Serpong ke Sudirman-Manggarai, Bekasi ke Senen hingga Kampungbandan protes keras. Namun operator tegar pendirian dan berhasil memaksa penumpang mengikuti pola baru.
Belum genap setahun kesengsaraan penumpang kebijakan baru diterapkan lagi. Terakhir pada 2014 diberlakukan sistem tiketing elektronik. Tidak lama diberlakukan tarif progresif dan pemberian subsidi dari pemerintah, sehingga tarif KRL untuk jarak lebih dekat membayar lebih murah.
Pemberlakuan tarif progresif dan subsidi pemerintah membuat tiket yang dibayar penumpang makin murah. Bandingkan penumpang Eks KRL Ekpres Bogor-Jakarta sebelumnya bayar Rp 13.000 cuma bayar Rp 5.500 menggunakan KRL CL.
Penumpang jarak dekat juga diuntungkan. Bekasi ke Klender sebelum bayar sama dengan penumpang KRL ke Jakarta karena semula menggunakan sistem tarif flat. Dengan perubahan ini mereka cukup bayar RP 2.000.
Ada keuntungan lain dengan diberlakukan single operasi. Stasiun yang semula tidak disinggahi KRL AC bisa menikmati pelayanan karena semuat stasiun berhenti, penumpang semula enggan pakai KRL tertarik dan berpindah.stasiun yang semula sepi jadi ramai pelayanan.
Perubahan demi perubahan tentu untuk meningkatkan volume pengguna. Tujuan itu tercapai. Pada 2009 penumpang berkisan 400.000 pada pertengahan 2014 sudah menyentuh angka 650.000. Suatu peningkatan pesat.
Makin banyaknya penumpang memaksa penambahan KRL. Perjalanan yang sebelumnya sekitar 450-500 telah meningkat menjadi 600 perjalanan lebih. Penambahan perjalanan perlu penambahan infrastruktur KRL.
Tempat stabling, Depo perawatan, persinyalan yang sudah lebih dari 20 tahun perlu diremajakan karena sering gangguan. Beruntung pemerintah membangun Depo Depok, membanguan doble track Tanahabang-Maja-Rangkasbitung dan Duri-Tangerang. Sehingga dapat meminimalisasi kekurangan-kekurangan.
Meskipun stasiun telah berubah bagus, namun persoalan infrastruktur penambahan jalur KRL PT. KAI belum mampu membangun infrastruktur rel baru di Jabotabek. Meskipun telah terbit Perpres 83/2011, di mana KAI meminta pengelolaan prasarana dan sarana KRL dan pembangunan jalur KA Bandara Manggarai-Soekarno Hatta, Perpres yang menargetkan 2 (dua) tahun dapat memberesi KRL Jabotabek belum dapat diwujudkan semuanya.
KAI baru mampu dalam penyediaan dibidang sarana (KRL) karena ada kesempatan beli KRL bekas. Membenahi stasiun-stasiun kumuh, membangun sarana parkir. Pembangunan sarana parkir ada sisi bisnis sehingga cepat digarap.
Lha pengembangan infrastruktur rel. Elektrifikasi dan persinyalan KRL yang sangat mahal, KAI belum mampu. Sehingga belum digarap karena perlu dana sangat besar. KAI bisa investasi dengan dana Bank yang bunganya per hari lumayan besar.
Pengambangan Infrastruktur Elevated
Dengan infrastruktur saat ini KRL sulit bertambah frekuensinya. Paling banter memperpanjang rangkaian KRL dari 8 menjadi 10 gerbong. Ini telah dilakukan dan akan terus distandarkan 10 kereta setiap perjalanan.
Pemerintah harus memegang kendali untuk pengembangan dan pembangunan infrastruktur KRL. Membangun infrastruktur di luar jalur eksisting biayanya sangat mahal. Terutama untuk pembebasan lahan.
Hal terbaik adalah membangun jalan rel baru di atas jaringan rel eksisting yang ada. Bila kebijakan ini diambil tidak perlu pembebasan lahan, dapat menggunakan ruang manfaat jalan (Rumaja) dan ruang milik jalan (Rumija) yang sebagian dikuasi atau digunakan warga pinggir rel.
Pembangunan rel layang di atas rel eksisting jauh lebih murah, lebih cepat, lebih manfaat. Dengan dibangun rel layang di atas rel eksisting, maka rel di bawah juga tetap dipakai, tinggal membagi peruntukannya.
Untuk lintas Bogor dan Serpong rel atas untuk KRL CL yang frekuensinya lebih banyak karena tarifnya lebih murah dan berhenti setiap stasiun, KRL Ekspres yang tarifnya bisa 5 kali harga tiket CL melalui jalur bawah.
Dengan pemisahan jalur CL dan jalur ekspres. Maka eks penumpang KRL Pakuan, Serpong Ekspres bisa terakomodasi kerinduannya. Pengguna berpenghasilan tinggi akan bergairah. Tetap fresh tiba di kantor dengan waktu lebih cepat.
Bisakah terwujud? Sangat mungkin semoga pemerintahan baru, dapat segera membangun rel layang atau elevated dalam waktu cepat. Semoga kerinduan penumpang KRL ekspres terwujud. Merdeka.
Sujadi Mantri.