Oleh; Akhmad Sujadi
Minggu (5/10) pagi lantunan suara takbir makin menggema seiring fajar menyambut Hari Raya Idul Adha 1435 H. Hampir semalaman ku simak dan ku ikuti suara takbir dari masjid sebelah tempat kosku. Suara mengangungkan Asma Allah dari kamar kos di Palmerah Barat terdengar hingga pagi. Pukul 22.30 suara Hpku bunyi tuing. Ada sms masuk dari dari anak kandang, Warto yang malam tadi baru sempat ke Pak haji tetangga kampung.
Warto pada Sabtu sore kusuruh ke tempat Pak Haji tetangga kampung untuk terakhir kali meloby ketua rombongan iuran hewan kurban yang akan memotong sapi betina bunting. Misi Warto menyelamatkan sapi bunting agar diganti dengan sapi jantan milik saya. “Kang Warto tolong ke rumah Pak Haji sekali lagi. Coba sampaikan sapinya ditukar dengan sapi coklat yang besar dan harganya lebih mahal dibanding sapi betina bunting. Suruh Pak Haji ke kandang pilih diantara tiga sapi jantan,” pintaku ke Warto via HP.
Sebagai duta, Warto pun segera ke rumah Pak Haji tetangga kampung. Pak Haji pun segera mendatangi rumah ketua kelompok iuran kurban. Singkat cerita mereka menolak secara halus permintaan kami menukar sapi betina bunting dengan sapi jantan. Meskipun bobotnya lebih berat dan harganya lebih mahal sapi jantan, mereka tetap menolak penukaran sapi betina bunting yang baru dibeli dari tetangganya, Kang Paino.
Mereka kirim sms ke Warto yang selanjutnya diforward ke HPku “Pokoknya pilihkan saja sapi yang besarnya sama dengan sapi saya. Besok pagi setelah sholat subuh antar sapi itu ke masjid di depan balai desa. Kalau besar sapinya sama dengan sapi saya, ya monggo,” demikian jawaban sms yang dikirim Warto ke Hpku.
Karena ukuran sapi jantan yang diinginkan seukuran sapi betina bunting, otomatis tidak tersedia di kandang. Sapi yang tersisa tinggal tiga ekor dengan ukuran harga lebih mahal, namun besarnya masih kalah dengan sapi betina bunting. Misiku menyelamatkan sapi betina bunting dari kematian mendekati kegagalan. Ukuran besar sapi yang diminta menandakan kurban tidak lagi memperhatikan keutamaan dan persyaratan kurban sesuai ajaran Tuhan.
Melihat kenyataan hewan kurban sapi betina bunting, maka kurban akan berdampak pada kepunahan sapi. Meskipun sudah diingatkan namun sapi betina bunting pun tidak dapat lolos dari maut. Saya masih berharap ketika menjelang ajal di masjid balai desa nanti ada seorang pemberi peringatan, siapa pun mereka entah malaikat atau manusia yang dapat mencegah sapi betina bunting lepas nyawa. “Bila sapi betina bunting dipaksakan dipotong maka sekali potong dua nyawa melayang.”
Bayangan rasa iba terus menyeruak di hatiku. Erangan sapi betina bukan tanda keikhlasan untuk dikurbankan. Sapi betina bunting itu menjadi korban ketidaktahuan manusia akan makna kurban yang hakiki. Berkurban tapi nyawa sapi betina bunting menjadi korban. Pasti sapi akan menangis, meratapi karena sedang berbadan dua tetap disembelih. Inikah perlakuan manusia kepada sesama makhluk Tuhan, berbuat tanpa mempertimbangkan perikehewanan, perikesapian. Meskipun betina bunting tetap dipotong dan dua nyawa melayang sia-sia.
Usai Sholat Idul Adha, miinggu pagi saya telepon Kang Rohman, yang dititipi sapi betina bunting. “Kang gimana sapinya mau ditukar sapi jantan?” tanyaku penuh pilu dengan harap cemas.
“Mboten purun ko Pak. Nggih kito mpun usaha (tidak mau pak, ya kita sudah berusaha),” jawab Kang Rohman dengan nada memelas dari HP.
Badanku lemes memikirkan dan membayangkan sapi betina dipotong di pagi hari. Andaikan aku bisa terbang, ingin aku pulang kampung dan mendatangi tempat penyembelihan hewan kurban di masjid di depan balai desa tetangga kampunku. Saya ingin menangis di depan sapi betina bunting yang saat ini telah menemui ajalnya karena dipaksa untuk dikorbankan oleh manusia.
Aku tidak dapat menyaksikan ajalmu, namun Ikhlaskan jiwamu sapi betina bunting. Anakmu ikhlaskan juga. Meskipun ku tak ikhlas, aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Usahaku sudah maksimal. Semoga ibadah kurban mereka diterima Allah Yang Maha Kuasa. Misiku menyelamatkan sapi betina bunting gagal. Sapi betina bunting tetap menemui ajalnya di Hari Raya Idul Adha 1435 H. ### i
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H