[caption id="attachment_379135" align="aligncenter" width="430" caption="Masjid Sultan Riau Penyengat tampak megah (foto : id.wikipedia.org)"][/caption]
Oleh: Akhmad Sujadi
Semula kami ingin sholat Jumat di Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Jumat (28/11), namun nasib belum berpihak karena pesawat yang mengantar badanku terlambat 50 menit tiba di Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang.
Keinginan sholat Jumat di Masjid Raya Sultan Riau pun tak kesampaian. Keterlambatan pesawat sekitar 50 menit membuat kagok dengan waktu sholat Jumat di Tanjung Pinang. Kami pun sholat Jumat di masjid dekat Hotel tempat kami menginap. Setting waktu ketat menyeberang ke Pulau Penyengat, tempat Masjid bersejarah itu terlewatkan, tidak mendapati sholat Jumat yang sangat ditunnggu.
Rombongan Press Tour Pelni baru bisa menuju ke Pulau Penyengat pada Sabtu (29/11) pagi. Kami bersiap menuju Dermaga Pelabuhan Tanjungpinang, tempat star kapal Pongpong (sebutan perahu kayu angkutan penumpang) menuju ke Pulau penyengat dan pulau-pulau lain di Kepulauan Riau.
Tidak terlalu jauh perjalanan dari Dermaga Tanjungpinang ke Pulau Penyengat. Hanya butuh waktu 20 menit.Tarif kapal juga tidak mahal, bila memilih perorangan, Rp 7.000,- per penumpang, namun harus menunggu kapal terisi 15 orang. Kalau carter Rp 100.000,- satu trip perjalanan, Bila PP bayarnya Rp 200.000,-
Rombongan Media Tour Pelni memilih bersama penumpang umum, sekali jalan, Rp 7.000,- bagi umum. Sedangkan bagi pekerja Rp 5.000,- Perahu Pompong kami mendarat. Begitu tiba di Dermaga Pulau Penyengat, Masjid Raya Sultan Riau jaraknya sangat dekat dengan Dermaga Pelabuhan.
Karena tujuan utama ke Pulau Penyengat untuk mengunjungi masjid bersejarah itu. Maka saya langsung berjalan kaki menuju Masjid. Saya disambut penjaga Masjid. Seraya mengucap salam, kusalami pula penjaga Masjid, jabatan tangan sebagai pertanda seiman. Saya lalu segera ambil wudlu. Masuk ke Masjid dan segera sholat duha.
Masjid yang dibangun pertama kali pada tahun 1803 semula didirikan dengan bahan dari kayu. Pada tahun 1832 dilakukan renovasi ketika jaman Raja Abdurahman, Yang dipertuan Muda ke delapan. Masjid yang terdiri 4 menara dan 13 kubah ini totalnya ada 17 yang merupakan jumlah rokaat dalam sholat sehari semalam.
Cat warna aslinya kuning, yang menandakan ciri khas Bangsa Melayu. Sampai sekarang pun cat luar masih berwarna kuning yang membuat cahaya Masjidnya mudah terlihat dari Pulau Bintan. Sedangkan warna di dalam lebih didominasi warna putih yang pada lekuk tiang divariasi kuning dan hijau. Sehingga menambah indah yang membuat pengunjung betah aktivitas ibadah di dalam Masjid.
Masjid yang dibangun sebelum Belanda datang ini, terdapat sebuah Musaf Al Quran tulisan tangan karya putra Penyengat, Abdurahman Stambul yang dikirim belajar Agama Islam ke Mesir. Sekembalinya di Indonesia ia menulis musaf Al Quran dengan goresan tangan yang sampai saat ini masih tersimpan rapih di dalam bingkai kaca seperti aquarium.