“Ya ya aku usahakan. Mudah-mudahan masih ada tiket pesawat. Saat sedang mencoba merubah jadwal, aku berfkir, waktu sudah menujukkan jam 14.00. Jika pesawat ada, aku harus pulang dulu dari kantor ke rumah, untuk mempersiapkan pakaian. Pejalanan pulang 2 jam, lalu aku ke bandara, paling cepat 2 jam. Jadi jam 18.00 sampai bandara. Jika terbang jam 19.00, jam 21.30 baru sampai medan. Padahal jam 20.00 bus malam terakhir ke Medan-Takengon. Akhirnya aku urungkan merubah jadwal. Aku selalu memantau perkembangan Ganeng, semoga perkembangan kesehatannya semakin membaik.
Tepat jam 7 saat makan malam, HP-ku berdering, jantungku berdegub kencang. “Assalamualikum Kang Suhud..” terdengar suara Bahar di ujung telepon. “Ga usah sedih ya Kang, yang sabar... Ganeng sudah pergi mendahului kita...” Innalillahi wa innaillaihi rojiun...serasa disambar petir aku meneriman kabar itu.
Aku tak sanggup menyelesaikan makan malam itu, aku lemas, mataku basah, aku merasa bersalah mengapa aku tidak pulang setelah mimpi itu. Jika saja aku pulang, tentu masih sempat melihat Ganeng. Atau jika saja tadi aku sudah bawa pakaian ke kantor, dan langsung ke bandara, ketika medapat kabar kondisi Ganeng terus menurun, tentu saat ini aku sudah berada di Medan, besok paginya aku bisa mengantarkan ke pemakaman. Aku tak dapat menahan tangisku, yang terus meraung-raung bagai anak kecil. Anak-anak dan istriku yang menyaksikan semua menangis, mereka tak sanggup mendiamkan tangisku. Bahkan ketika Om-ku menelpon menanyakan kepastian Ganeng telah meninggal dunia, aku menjawab sambil tersedu-sedu. Malam itu sambil terus terisak, aku mempersiapkan pakaian dan tas yang akan kubawa pulang ke kampung halaman besok pagi.
Jam 11.30 aku berangkat menuju terminal Rawamangun, selanjutnya menuju Bandara Seokarno Hatta dengan bus Damri. Aku telepon Yuk Yah, yang mengabarkan proses pemakaman almarhum baru saja selesai. Aku ikhlas, walau tidak bisa bertemu Ganeng, paling tidak aku bisa pulang menghibur keluarga, melihat pusara, berdoa dan menaburkan kembang dipusara adikku.
Di perjalanan sambil mengisi waktu, aku mengupdate status FB-ku “Dinda, maafkan aku yang tak sempat meghantarkanmu menemui Sang Khalik. Masih terngiang suara paraumu nan lemah kemarin diujung telepon. Ternyata itu suara terakhirmu. Selamat jalan dinda. Aku segera pulang tuk menabur kembang di pusaramu. Doaku tak terputus mengiringi tidur abadimu….”
Tiba di terminal keberangkatan Bandara aku bergegas turun dari Damri dan masuk ke ruang check in, gelap dan panas, ternyata Bandara mati lampu. Penumpang semakin banyak berdatangan, sehingga semakin sesak. Proses check in belum bisa dilaksankan karena komputer mati dan tidak terhubung ke server.
Tak sabar aku menunggu, padahal aku sudah ingin cepat pulang. Setelah delai 1 jam akhirnya aku bisa terbang juga, hingga tiba di Medan dua jam kemudian. Jam 20.15 bus malam PMTOH yang membawaku ke Takengon berangkat.
Sepanjang perjalanan aku sulit tertidur, banyak sekali kenangan-kenangan manis bersama Ganeng, dari mulai kecil, masa sekolah, hingga dia menyusulku mengadu nasib ke Jakarta. Panggilan Ganeng adalah pemberian Mbah Muchlan, salah satu ulama dan guru ngaji di desa kami, yang sudah kami anggap sebagai orang tua kami. Ganeng itu berasal dari Jenong, karena jidat Warsono yang waktu kecil agak melebar dan menyembul. Sehingga kami semua, bahkan orang sekampung semua memanggil Ganeng. Kecuali teman-teman sekolah dan kerjanya yang memanggil Warsono.
Saat Ganeng sekolah di STM Langsa Aceh Timur, yang juga merupakan sekolah almamaterku, aku membantu membiayai sekolahnya yang ku kirimkan melalui wesel pos dari Jakarta, tidak rutin setiap bulan memang, karena keadaanku yang waktu itu belum mapan. Jika ada permasalahan dalam pekerjaan dan kehidupannya, Ganeng juga selalu menyampaikan dan mendiskusikannya padaku.
Dua tahun sebelum Ganeng kembali ke Takengon memboyong keluarganya, karena rasionalisasi di perusahaan tempatnya bekerja, Ganeng tertarik dengan aktifitas jamaah tablik. Ketertarikan inilah yang membuat Ganeng berubah menjadi religius, rajin mengikuti pengajian dimanapun berada, bahkan hingga menginap di Masjid berhari-hari. Pakaiannya pun kemudian berubah, lebih sering menggunakan baju koko dan gamis. Rajin membaca buku-buku tentang Islam, sehingga menjadi mubaligh yang mengisi ceramah dan khutbah Jum’at di beberapa masjid. Kini istri dan anak-anaknya juga sudah mengenakan cadar. Gita, putri pertamanya juga di sekolahkan di pesantren. Itu adalah caranya untuk menegakkan syariat Islam, yang dimulai dari diri dan keluarganya.
Tidak sampai setahun setelah pulang ke kampung halaman, Ganeng mengikuti seleksi PNS di Aceh Tengah, alhamdulillah diterima dan di tempatkan di SMP Negeri di desa kami sebagai bendahara. Selama bekerja di kantornya, Ganeng selalu mengenakan kopiah untuk melengkapi seragam coklat PNS-nya.