Mohon tunggu...
Muhammad Suhud
Muhammad Suhud Mohon Tunggu... -

Lahir di Aceh, 18 Juni 1966, alumni Fakultas Ekonomi, UIA Jakarta. Sejak tahun 1990 bekerja di sebuah NGO Nasional, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, saat ini sebagai Manajer Sekretariat dan Koordinator Divisi Audio Visual. Sudah banyak memproduksi video untuk pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Saling Menyayangi

4 Oktober 2012   04:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Aku sedang sibuk menekan tombol-tombol keyboard komputer desktop di kamar belakang. Terdengar sayup anak bungsuku Nadif yang besekolah di TK 0 Besar itu menangis. Aku tidak begitu peduli. Karena dia sedang bercanda dengan abang-abangnya di kamar utama kami. Ah mereka hanya rebutan sesuatu, pikirku. Aku teruskan menulis untuk mengupdate blog ku, yang sudah lama tidak ada posting apapun.

“Papa…. kepala dedek berdarah” teriak Akmal, anak sulungku. Suara tangis Nadif semakin terdengar keras bersamaan terbukanya pintu kamar oleh Akmal.

Reflek aku melompat darii kursi berlari ke kamar sebelah. Istriku yang sedang berbincang via HP dengan keluarganya, segera mematikan telepon, lari menyusul aku. Masya Allah, kulihat Nadif tidur telungkup di kasur dengan darah segar menetes dari kepalanya. Aku periksa dengan membuka rambutnya, darah itu menetes di kasur dan tanganku. Tangis nadif semakin kencang “Papa…. tolongin aku bawa ke dokter…..”.

Aku paham sekali dengan Nadif, dia tidak akan menangis kalau tidak merasa amat sakit. Istriku tidak kuat melihat nadif terkulai, ia meraung-raung disamping kepala nadif yang penuh darah. “Kenapa Akmal…. kamu apakan adikmu…..kamu apakan adikmu ???” Akmal ikut menangis “Kesenggol tanganku,….. terus dedek jatuh dari tempat tidur,….kepalanya kena pinggir tembok itu” terisak-isak Akmal menjelaskan, wajahnya ketakutan, penyesalan yang dalam tergambar dari wajah polosnya. Aku merlirik tembok yang ditunjuk akmal, ternyata sudut keramik yang tajam !!. Masya Allah.

Aku menyeka kepala nadif dengan sarung bantal yang terlepas dari bantalnya.. Ku sumbat luka yang menganga itu, agar darah segernya berhenti mengalir. Kemal, anak kedua kami tidak bisa menahan sedihnya, air matanya ikut menetes “Gimana dedek…papa… ayo cepet bawa ke dokter…!!!

Sesungguhnya aku juga sangat panik, tapi aku mencoba tetap tegar, tangis Nadif semakin kencang. Aku tidak mungkin membawanya ke dokter yang jauh, bisa-bisa Nadif kehabisan darah. Aku putuskan untuk segera membopong Nadif , berlari ke rumah Bidan di belakang rumah. Tangan kiriku tetap menyeka lobang kepalanya yang tidak henti-hentinya mengeluarkan darah, sarung bantal itu telah berlumuran darah. Aku serasa terbang membawanya, got yang lumayan lebar aku lompati dengan sigap. Aku ingin segera sampai ke rumah bu Bidan. “Papa tolongin aku…. ayo cepet ke dokter” teriak nadif semakin kencang. “Ia sayang… kita ke rumah Bu Bidan ya” suaraku bergetar, nafasku tersengal menahan tangis.

“Bu Bidan-Bu Bidan” panggilku dengan kencang ketika sampai di depan pintu rumah Bidan Kusuma.
“Ia pak.. saya disini” jawab bu Bidan, ternyata dia sedang di rumah tetangganya.
“Tolongin Nadif bu, kepalanya berdarah, kebentur keramik” kata istriku yang menyusul dari belakang.

Tergopoh bu Bidan pulang ke rumah, membuka pintu ruang prakteknya. Dengan cekatan dia mengambil peralatan lalu memeriksa kepala Nadif. Aku melepas seka perlahan, darah itu masih menetes. “Sakit-sakit…. tolong aku papa” tangis Nadif tidak pernah berhenti. Aku tetap menggendongnya sambil duduk di pinggir tempat tidur pasien, sambil terus berusaha menenangkannya. Istriku terus terisak sambil berulang kali menyeka air matanya.

Bu Bidan membersihkan darah Nadif, dan menggunting rambut di sekitar luka yang menganga. Kain kasa yang sudah diberi alkohol ditempelkan untuk menutup luka itu. Tangis anakku semakin kencang. “Perih-perih… sakiiiit”. Tetangga kami, mbak As, ikut repot membantu bu bidan memebersihkan tetesan darah itu. Beberapa tetangga berdatangan meliht dari pintu ruang praktek bu Bidan.

“Gimana bu, apa harus di jahit” tanyaku pada bu Bidan.

“Kita lihat dulu pak… lukanya seberapa lebar dan dalam” kata bu Bidan sambil membersihkan darah yang menempel di rambut anakku yang memang sedang panjang itu. Sedianya malam ini istriku akan membawa Nadif ke salon untuk memotong rambutnya. Dengan kejadian ini pangkas rambu harus di tunda untuk beberapa hari ke depan, hingga lukanya sudah benar-benar sembuh.

Bu Bidan kembali membuka kasa, kali ini darah itu sudah tidak menetes lagi, mungkin pembuluh darahnya sudah tertutup, beku karena dinginnya alkohol. Namun luka itu terlihat mengaga kemerahan. “Tida perlu dijahit pak, memang lukanya cukup lebar, tapi tidak dalam. Jika dijahit mungkin hanya satu jahitan. Tapi Nadif pasti tidak kuat menahan sakitnya tusukan jarum ” kata bu Bidan menjelaskan. Lega rasanya aku mendengarkan penjelasan bu Bidan.

“Di perban saja cukup. Yang penting kepalanya jangan basah sampai tiga hari ” tambahnya. Kali ini tangis Nadif sudah mulai berkurang, berganti dengan isakan. Kami semua bertambah lega. Bu Bidan memasang plaster kasa yang di olesi salep anti biotik, dan menyudahi pertolongan yang sangat berharga untuk putra kami. Dia lalu bergegas meracik puyer yang harus diminum anakku.

Setelah menerima obat , aku bergegas pulang ke rumah menggendong anakku dan segera meminumkan obat pemberian bu Bidan. Tidak lama berselang Nadif tertidur pulas di kamar kami. Bu Bidan, terimakasih banyak. Ibu telah membuat hati kami tenang kembali.

Tragedi itu telah menunjukkan begitu cintanya diantara kami sekeluarga. Akmal dan Kemal yang dalam kesehariannya kadang tidak mau mengalah dengan adiknya, ternyata tidak bisa menahan tangis ketika melihat adiknya terluka. Kini mereka memandangi wajah adik bungsunya yang tertidur pulas dengan perban yang menempel di kepalanya, rasa sayang itu terlihat dari pancaran wajah-wajah mereka.

Aku teringat bahwa bagian kepala manusia memang mudah mengeluarkan darah, luka sedikitpun darah bisa mengalir. Kejadian itu mengingatkan semasa remaja dulu, temanku pernah terjatuh di jalanan yang berbatu. Kepalanya terbentur batu tajam dan banyak mengeluarkan darah, aku sangat ketakutan. Setelah di bawa ke mantri desa, ternyata lukanya tidak dalam. Walau sempat di jahit, besoknya dia sudah bisa bersekolah.

Menurut sebuah artikel, luka atau cedera pada kepala sering mengeluarkan darah yang cukup banyak dan membuat kita juga anak kita khawatir. Hal ini terjadi karerna di kepala banyak terdapat pembuluh darah. Lebam atau memar di kepala juga lebih cepat membengkak dibandingkan pada bagian tubuh yang lain.

Terbentur ringan atau terpukul benda menjadi hal yang biasa pada anak-anak, terutama pada usia di bawah 3 tahun. Meskipun anak terjatuh atau terbentur adalah peristiwa yang biasa dialami oleh anak-anak, tetapi kita harus tetap waspada jika cedera kepala terjadi akibat anak terjatuh dari tempat tinggi atau terpukul benda berat. Pukulan di bagian samping atau belakang kepala relatif lebih berbahaya dibanding jika dari arah depan.

Kita harus wapada jika setelah cedera kepala, anak menunjukkan beberapa tanda seperti pingsan, sakit kepala yang berlangsung lama atau lebih dari satu jam dan tidak berkurang dengan obat pereda nyeri, muntah-muntah, sulit dibangunkan saat tertidur, keluar darah atau cairan lain dari hidung atau telinga, munculnya area biru dan hitam di sekeliling mata atau di belakang telinga, ada lekukan akibat cedera, korelasi tubuh terganggu (sulit berjalan, tidak bisa bicara, lumpuh, kejang, ukuran pupil mata tidak sama atau berubah, atau pucat).

Apa yang bisa kita lakukan? Telentangkan anak dengan posisi kepala miring ke satu sisi. Perhatikan terjadi cedera pada leher atau tidak. Jika terjadi cedera leher, jangan pernah menggerakkannya. Jangan memberikan makanan atau minuman apapun sampai pertolongan medis datang. Dokter akan melakukan CT Scanning jika perlu. Pemeriksaan ini untuk mengetahui parah tidaknya cedera kepala pada anak. Selanjutnya dokter akan memberikan pengobatan sesuai gejala yang timbul.

Efek dari benturan atau luka di kepala bisa terjadi segera maupun kelak di kemuadian hari jika mereka tumbuh dewasa. Benturan kepala rentan menyebabkan terjadinya gegar otak. Gejala gegar otak sendiri jika tidak ditangani baik, bisa menimbulkan komplikasi yang lebih parah. Salah satunya penyakit epilepsi.

Namun tidak semua benturan yang mengenai kepala bisa menyebabkan gegar otak. Itu karena otak dilindungi tengkorak yang kokoh ditambah selaput otak sendiri. Karena itu tidak semua benturan langsung bisa menyebabkan terjadi gegar otak itu sendiri.

Jadi sebaiknya jika anak kita mengeluarkan darah karena benturan, tidak usah terlalu panik, ketenangan kita sangat dibutuhkan. Agar kita bisa mengontrol diri untuk mengambil keputusan. Bawalah segera ke dokter terdekat untuk mendapatkan pertolongan. (Shd)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun