Mohon tunggu...
Usep Suhud
Usep Suhud Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nepotisme di Perguruan Tinggi, Seseram Apa?

17 September 2017   06:52 Diperbarui: 18 September 2017   06:21 5511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nkytribune.com

Nepotisme adalah "the act of using your power or influence to get good jobs or unfair advantages for members of your own family". Nepotisme di perguruan tinggi mungkin biasa. Biasa? 

Saya memulai tulisan ini dengan mengutip definisi 'nepotisme' dari Kamus Cambridge.

Pada umumnya, ada beberapa jenis status dosen di perguruan tinggi negeri (PTN). Ada dosen tetap PNS, ada dosen tetap non-PNS, dan dosen paruh waktu. Ada yang masuk menjadi dosen dengan jalur lempeng tanpa bantuan tangan-tangan penguasa, ada juga dosen yang masuk dengan jalur super lempeng, karena cara masuknya dipermudah. Saya bertemu dengan banyak dosen dari berbagai PTN sehingga saya banyak mendengar romantisme kisah-kasih nepotisme dari mereka. Nepotisme itu tidak etis, merugikan banyak pihak, membuat organisasi tidak sehat. Lebih seram dari film Annabelle, Insidious, atau It. 

Seorang rekan saya sudah dua tahun menjadi dosen paruh waktu di sebuah PTN tempatnya menuntut ilmu dari S-1 hingga S-2, saya temui pada sebuah festival kuliner. Begitu waktunya dianggap tiba, sebuah posisi disiapkan oleh dekan untuknya. Segala macam tes dia ikuti. Dengan keyakinan penuh ia akan lulus, ternyata gagal. Tiba-tiba, seseorang entah dari alam mana muncul namanya sebagai dosen terpilih. Rupanya dia anak pejabat di PTN tersebut. Meraunglah rekan saya itu.

Kenalan saya yang wakil dekan yang saya temui pada sebuah seminar pernah bercerita. Ia menjadi saksi ketika rektor di PTN tempatnya bekerja, mengirimkan sepasang dosen, suami-isteri, yang merupakan anak dan menantu dari rektornya itu. Padahal, dia bersumpah menunjuk langit, tak ada posisi untuk dosen baru di fakultasnya. Jangankan untuk satu orang, apalagi dua. 

Seorang tetangga bercerita, pamannya harus kehilangan jabatan di PTN tempatnya bekerja karena dianggap tidak bisa memuaskan pimpinannya. Sang pimpinan menghendaki menyusupkan puterinya yang berstatus dosen dari perguruan tinggi swasta (PTS) yang berakreditasi C. Menurut tetangga saya itu, dosen dari kampus berakreditasi C tak bisa pindah ke kampus berakreditasi A. Si paman tahu persis aturan itu. Dia rela kehilangan jabatan daripada menyalahi aturan. Kisah karyawan PTN yang kehilangan jabatan juga pernah saya dengar dari seorang sopir taksi online. Ia bercerita, kakaknya kehilangan jabatan karena dia menolak memroses berkas yang diajukan seorang pimpinan yang memiliki syahwat agar anaknya yang lulusan S-1 untuk menjadi dosen. Padahal, pada saat itu, aturan kementerian masih menulis bahwa syarat seorang dosen harus berijazah S-2 minimal. 

Masih banyak cerita lain, tentang gerilya pajabat kampus untuk memasukkan anak, pasangan, menantu, cucu, dan kerabat lainnya masuk dalam sebuah perguruan tinggi. Nepotisme mungkin dianggap terlalu biasa. Terlalu umum, sehingga bahaya tak terlalu diperhatikan. Contoh bahaya dari nepotisme, misalnya, rekan saya yang seorang pejabat di sebuah PTN, bingung ketika harus menegur seorang dosen bawahannya yang membuat sebuah kesalahan karena dia putra seorang menantu seorang pimpinan kampus untuk mengajar pada sore hari, tapi diintervensi agar sang menantu kesayangan itu mengajar di pagi hari saja setelah mengantar cucunya sekolah. 

Rekan saya yang lain bekerja pada sebuah PTN, adalah sebuah Ketua Program Studi. Saya bertemu dengannya saat menjadi voluntir pada sebuah organisasi internasional. Dia bingung setengah mati di awal semester ketika tiba-tiba 'dipaksa' untuk menerima dosen titipan dari seorang pejabat di kampusnya. Ditolak tidak bisa karena atasannya sangat keras memintanya menerima, sedangkan untuk diterima, tidak ada poisisi yang tersedia sedangkan jadwal kuliah sudah selesai dibuat. Buntutnya, jadwal mengajar dosen-dosen lain harus disunat demi membahagiakan pejabat, dekan, dan sang dosen titipan ini. Dosen-dosen yang menjadi korban itu mengurut dada. Maklum, tapi kesal.

Ada lagi cerita seorang rekan Ketua Prodi dari sebuah kampus di sebuah PTN yang saya temui di sebuah bandara. Suatu ketika, prodinya mengumumkan akan menerima dosen tetap non-PNS. Beberapa peserta ikut tes. Ketika tiba di ujung kegiatan dan pemenang akan dipilih sesuai skor penilaian tertinggi, pejabat di kampusnya keukeuh jumeukeuh untuk menunjuk seorang peserta yang menjadi jagoannya yang merupakan kerabat dari isteri sang pimpinan itu, meskipun skor-nya paling rendah di antara peserta lain.

Cerita lain yang menunjukkaan bukti bahwa nepotisme berbahaya adalah, ketika seorang anak dari seorang pimpinan di sebuah PTN memasukkan anaknya yang dosen ini ke tempat penitipan anak yang tersedia di kampusnya. Ada aturan bahwa usia anak yang boleh masuk adalah dua tahun minimal. Boleh, kurang dari dua tahun, asal ditemani seorang nanny. Tapi apa yang terjadi dengan keluarga ini? Bisa ditebak dong. Gara-gara kasus itu, pengelola penitipan anak jadi menjalankan standar ganda. 

Jika nepotisme memang begitu sulit dihindari, mungkin jalan keluarnya adalah agar siapapun bisa menahan diri. Jika sudah punya satu atau dua anggota keluarga masuk, mohon agar menahan diri untuk tidak memasukkan anggota keluarga dan kerabat lainnya. PTN itu milik rakyat, bukan milik pribadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun