Sesungguhnya tidak ada masalah bahwa Suami kita nobatkan sebagai pemimpin rumah tangga. Tetapi masalah akan timbul ketika dalam kenyataannya Suami tidak bisa memimpin. Ketika dalam kenyataannya leadership Istri lebih bagus daripada Suami. Ketika Istri lebih banyak pengalaman hidup maupun berorganisasi daripada Suami. Ketika Istri dalam kenyataannya lebih cerdas dan lincah daripada Suami. Ketika Istri lebih luas kesadaran emosinya ketimbang Suami.
Dalam kehidupan ini semua wanita menginginkan Suami yang ideal, termasuk yang terampil dan bijaksana dalam memimpin Istri dan anak-anaknya. Tetapi tidak banyak Suami maupun Istri yang menyadari betapa memimpin itu sulit, betapa memimpin rumah tangga membutuhkan keterampilan memimpin yang tidak lebih rendah, bahkan mungkin lebih tinggi, daripada memimpin sebuah organisasi atau perusahaan.
Sangat jarang Suami yang menyadari kelemahan-kelemahan diri, terutama kelemahan leadershipnya, sejarang Suami yang menyadari keunggulan leadership Istrinya. Kelemahan leadership Suami itu misalnya sikap ragu-ragu dalam mengambil keputusan, kurang pandai mendahulukan yang penting, kurang terampil memilah yang penting dari yang urgent alias mendesak, kurang berminat mendengar saran dan kritik dari Istri dan anaknya, kurang menggunakan hati dalam memimpin. Padahal tanpa kesadaran akan kelemahan-kelemahan tersebut, maka secara tidak sadar Suami akan cenderung menjuruskan rumah tangganya ke dalam putaran masalah-masalah yang diakibatkan oleh kelemahannya sendiri.
Pertanyaannya: Kalau Suami sudah jelas-jelas kurang dalam keterampilan leadershipnya, apakah Istri lantas mengambil alih leadership itu? Apakah Istri lantas berdiri di depan dalam mengatasi masalah-masalah maupun mengarahkan bahtera rumah tangga?
Tentu saja tidak. Karena Suami, mungkin semua Suami, mempunyai ego, mempunyai harga diri. Masyarakat atau adat istiadat telah “menobatkan” Suami menjadi pemimpin rumah tangga. Suami menerima “penobatan” ini dengan kebanggaan. Ini patut dipahami benar oleh Istri. Jangan sampai Istri, demi melihat dan merasakan kelemahan leadership Suaminya, lalu melakukan tindakan-tindakan yang menggoyang kebanggaan itu.
Ketahuilah bahwa memimpin tidak harus melalui “penobatan”. Artinya, Sang Istri masih tetap dapat memerankan leadership di dalam rumah tangganya tanpa gelar pemimpin. Gelar pemimpin biarlah tetap disandang oleh Suami. Dan Istri tetap dapat menjalankan leadership di dalam rumah tangga itu. Ini seni leadership. Memimpin tanpa gelar pemimpin.
Penting sekali untuk meyakinkan Suami bahwa Istri tidak, dan tidak akan, merebut gelar atau mahkota pemimpin dari kepala Suaminya. Keyakinan ini penting sekali, untuk membuat Suami tenang. Dalam ketenangannya Suami akan lebih dapat menerima gagasan-gagasan, saran-saran, bahkan arahan, sang Istri. Sebaliknya bila Suami merasa digurui, dilangkahi, maka dia akan melakukan tindakan defensive, membatu, menutup telinga dan hati.
Maka sebaiknya Istri menghindari melakukan tindakan yang dapat diartikan sebagai kritik maupun saran. Kita tahu bahwa pada umumnya, kalau tidak semua, Suami tidak menyukai saran apalagi kritik. Padahal sebagai pemimpin dia membutuhkan kritik maupun saran. Walaupun Istri menggunakan kalimat “Ini cuma saran lo, jangan marah ya sayang……”, Suami tetap merasa terancam kepemimpinannya.
Banyak cara memberikan saran. Alih-alih memberikan saran secara langsung, Istri dapat menceritakan apa yang dia lihat atau baca, atau pengalaman masa lalu tentang seseorang. Misalnya Suami tidak biasa, sehingga tidak pandai, memilah hal-hal yang penting dari yang tidak penting. Istri tidak perlu langsung mengguruinya. Dalam kondisi santai, dia bisa menceritakan apa yang baru dibacanya, misalnya buku Stefen Covey First Things First. Istri sebaiknya tidak bermaksud menggurui, melainkan berbagi pengertahuan kepada Suami.
Tulisan-tulisan di koran maupun di Kompasiana ini banyak yang dapat dipakai untuk menjalankan leadership Istri terhadap Suaminya. Pengalaman-pengalaman maupun pandangan para penulis adalah bahan yang dapat dipakai para Istri untuk menjalankan leadership mereka. Dengan demikian maka alih-alih mengatakan “Kakanda perlu lebih berdisiplin”, Istri dapat menceritakan kisah keberhasilan seseorang, yang menerapkan kedisiplinan. Kalau Suami penggemar sepak bola, bagus sekali untuk menggunakan topik sepak bola sebagai jalan masuk bagi gagasan-gagasan leadership yang hendak Istri sampaikan kepada Suami.
Bila Suami terlalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan, Istri dapat membeberkan alternatif pilihan serta plus minus setiap pilihan, tanpa mendorong-dorong Suami untuk memilih. Berilah Suami keleluasaan memilih agar dia tenang. Dalam kondisi tenang Suami akan lebih mendengar pilihan Istrinya. Dengan demikian Sang Istri dapat menjalankan leadership tanpa menggoyahkan gelar pemimpin yang “dinobatkan” oleh masyarakat kepadanya.
Dalam kondisi santai, ini penting sekali. Sabaik apapun saran Istri bila disampaikannya dalam keadaan Suami sedang kurang santai, maka saran tersebut cenderung tidak didengar atau tidak terdengar. Misalnya Suami sedang menulis dengan komputer, ketika konsentrasinya terfokus pada topik tulisannya, lalu Istri datang dengan memberikan cerita pengalamannya, tentu Suami merasa terganggu sehingga cenderung menolak isi pesan cerita Istrinya.
Setiap orang bisa melakukan leadership di dalam kelompok, perusahaan, maupun rumah tangganya. Saya sendiri sering merasa dipimpin, dan menyerahkan diri untuk dipimpin, oleh teknisi, walaupun teknisi itu seorang berpendidikan dasar bahkan buta huruf, tetapi mempunyai keterampilan tangan dan pengalaman kerja yang jauh di atas saya. Istri dan anak-anak sayapun banyak melakukan leadership di dalam rumah tangga kami tanpa menjatuhkan “mahkota” leadership dari kepala saya.
Keputusan Suami yang salah sebaiknya tidak ditanggapi secara frontal. Istri sebaiknya diam dulu. Diam dan menyimak keputusannya. Tidak perlu memakai kata “salah”. Masih banyak cara untuk menunjukkan alternatif yang lebih tepat daripada keputusannya.
Misalnya di tahun 2000 saya berniat untuk menaruh uang di sebuah PT agribisnis yang menawarkan bunga besar sekali dalam waktu singkat. Anak saya mendengar langkah saya ini tidak menyatakan “Jangan!” atau “salah”, melainkan menyarankan membaca tulisan F.Rahardi di Kompas mengenai penipuan berkedok Agribisnis. Tulisan yang disarankan oleh anak saya itu telah menyadarkan saya, yang pada saat itu mempunyai pikiran telah terjebak ke dalam penipuan. Anak saya telah melakukan leadership atas diri saya.
Contoh lain: Tahun 1972 Istriku mempraktekkan leadership kepadaku dengan tujuan agar aku berhati-hati dalam bertindak, terutama ketika marah. Dia tidak mengatakan apapun kecuali menunjukkan sebuah berita di Kompas tentang pemukulan seorang Suami yang mengakibatkan Istrinya tewas seketika. Tanpa kata-kata, Istriku telah membimbingku ke arah keberhati-hatian dalam bertindak. Tanpa kata-kata, dia memberikan pesan betapa jelek dan bahayanya kekerasan dalam rumah tangga. Al hasil, isi berita itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Setiap kemarahan akan muncul, isi berita itu menahanku. Sampai kini.
Semoga para Istri, juga para Suami dan anak-anak menyadari bahwa walaupun secara adat Suami adalah pemimpin keluarga, namun Istri dan anak-anakpun dapat melakukan leadership demi kesejahteraan mereka bersama.
Salam kasih, Suhirman Djirman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H