Opini Ulas Berita ala #SPMC Suhindro Wibisono
Banyak beredar video pelaksanaan Pelikada bernuansa curang, dan susah ditampik bahwa video-video itu rekayasa, maka ketika ada yang membantah bahwa  (video) kenyataan itu tidak benar, rekayasa, hoax, fitnah, dan semacamnya, bukankah pihak yang berwenang (KPU, BAWASLU (PANWASLU?), ... sampai Mendagri juga tim Paslon) bisa melakukan investigasi? NAH, KEMAUAN ITULAH YANG HARUSNYA DILAKUKAN UNTUK MENEPIS TUDUHAN DAN MEMBUKTIKAN REKAYASA ATAU MEMANG "CURANG" BENERAN?!.
.
Karena logikanya adalah, kenapa video-video yang beredar itu hampir semuanya menggambarkan wilayah yang sangat mudah diduga kantong suara paslon no. 2 (BADJA), kalau benar terjadi bukankah artinya itu ada grand design yang terstruktur untuk mencurangi Paslon no.2? Semoga benar diusut dan memberi tindakan sesuai hukum yang berlaku, karena tanpa bukti pernah dilakukan penindakan secara hukum, seperti macan yang sengaja dibuat ompong, percuma koar-koar seolah galak akan bertindak? (OMDO). Juga membersihkan nama pelaksana Pilkada jika benar itu hanya HOAX.
 .
Bukankah mereka para petugas pemungutan suara itu sudah diberi pemahaman tata-cara-nya, dan juga mendapat gaji? Kalau terbukti ada permainan curang, jelas penanggung jawab tertinggi harus dilengserkan, dan untuk wilayah (TPS) bermasalah dilakukan pemungutan suara ulang. Karena terus terang saja, semua peraturan itu seolah hanya gertak sambal, apakah sudah pernah ada Paslon yang di diskualifikasi karena melanggar peraturan? Terus terang saja memang itu sangat pelik dalam hal pembuktian, dan sangat mudah dilakukan rekayasa oleh pihak Paslon lain (ngerjain Paslon lain). Misalnya, bisa saja tim sukses Paslon X menyogok rakyat pemilih untuk memilih Paslon Y "atau" Paslon Z, dan sengaja agar tertangkap aparat, maka bukankah kalau dilakukan diskualifikasi Paslon Y "atau" Paslon Z maka akan terjadi kisruh, artinya akan sangat mudah ngerjain paslon lain bukan? Karena hal semacam itu juga bisa dilakukan oleh tim sukses Paslon Y terhadap Paslon lain, maupun dilakukan oleh Paslon Z terhadap paslon lain. Sungguh tidak mudah menangani hal itu. Tapi dalam kasus kecurangan pemungutan suara yang marak peredaran video-videonya di dumay kali ini, seharusnya tidak susah melakukan investigasi dan melakukan penindakan hukum, walau yang terimbas adalah "penyelenggara" pemungutan suara itu sendiri.
 .
Sebetulnya saya juga mempertanyakan pengawas (saksi) yang katanya dibentuk oleh tiap Paslon, bukankah seharusnya mereka yang tereak terlebih dahulu jika ada nuansa kecurangan yang akan merugikan Paslon yang menugaskannya? Atau pengawasnya Paslon juga "masuk angin"? Hal itu sebetulnya sangat penting diungkap, juga sangat penting bagi Paslon yang merasa dirugikan, jangan-jangan mereka telah dikhianati oleh orang yang ditunjuknya sebagai saksi atau pengawas atau yang konon khabarnya waktu itu sebagai pengawal di tiap TPS? Apa kerja mereka kalau benar itu memang ada? Apa kata "Teman Ahok" kok tidak bersuara lagi saat-saat begini?
 .
Jadi kesimpulan saya dalam kupasan artikel ini adalah menyuarakan perlunya penyelenggara pemungutan suara klarifikasi atas banyaknya video-video atau berita-berita pernyataan nuansa kecurangan yang beredar sehubungan dengan pemungutan suara Pilkada DKI pada Rabu, 15 Februari 2017 yang baru berlangsung kemaren itu, tentu saja klarifikasinya haruslah rasional dan bukan sepihak saja. Termasuk beredarnya suara masalah-masalah:
 .
Sengaja tidak dibagikannya surat pemberitahuan lokasi pencoblosan (C6) kepada warga ; Kurangnya lembar surat suara ; Waktu buka(dimulainya) TPS yang bahkan baru pukul 11:30 (Apa benar ada?) ; Juga klarifikasi apa maksud TPS harus diakhiri pukul 13:00 itu? Apakah artinya selesai tidak selesai harus dihentikan? Atau penerimaan pendaftarannya yang diakhiri pukul 13:00? Kalau tidak ada juklak yang jelas, itu sungguh rawan dimanipulasi, dan bisa saja sengaja di lelet-leletkan untuk wilayah tertentu yang diprediksi kantong suara Paslon tertentu. Padahal kalaupun pendaftaran itu dibatasi pukul 12:00 (13:00) misalnya, itupun juga masih bisa dikerjain oleh penyelenggara pemungutan suara. Karena bisa saja diperlambat proses pendaftarannya .... Maka seharusnya juga perlu dipikirkan waktunya agar lebih fleksibel, selama masih ada warga yang ingin mencoblos (sudah datang) dan waktunya tidak terputus oleh antrian sebelumnya ya harusnya diterima untuk ikut pemungutan suara, karena kalau tidak diterima, lalu untuk apa sebelumnya beriklan agar rakyat jangan golput? Atau bisa juga itu artinya salah memprediksi jumlah yang nyoblos ditiap TPS, artinya TPS-nya kurang.
 .
Demokrasi itu juga butuh implementasi kejujuran, bukan hanya alurnya saja yang seolah menyiratkan demokrasi, tapi kalau menggadaikan (mendagangkan) setiap tahapan prosedur dalam demokrasi, percayalah akan berujung pada merugikan rakyat, dan kualitas demokrasi negeri ini akan selalu didalihkan masih belajar terus .... Belajar kok sampai lebih 70 tahun ...... Hadeh!? #NGENES (#SPMCSW, Kamis, 16 Februari 2017)
 .
 .
 NOTES:
 (Indonesia merdeka 1945 sekarang sudah 2017, jadi sudah lebih 70 tahun)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H