Mohon tunggu...
Suhindro Wibisono
Suhindro Wibisono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

. ~ ~ ~ ~ " a critical observer " ~ ~ ~ ~ ( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Ahok Biangkerok Deparpolisasi"

26 Maret 2016   16:01 Diperbarui: 26 Maret 2016   16:01 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="www.netralnews .com"][/caption]

.
[Mendagri Risau]
.
"AHOK BIANGKEROK DEPARPOLISASI"
.
.
Opini Logika : (SPMC) Suhindro Wibisono.
.
.
Maaf Pak Mendagri.
Tentang siapa tanggung jawab jika pejabat dari independen,
usik saya juga tanya dalam pendapat.
Siapa tanggung jawab Gubernur ditangkap KPK karena korupsi?
Lalu apa tanggung jawab partainya?
Bukankah mentoknya juga menghitamkan "oknum"?
Jadi apa beda dengan pejabat dari independen?
Semua hanya sudut pandang Pak Mendagri,
lebih bijak jika "anggap" independen juga partai,
partai rakyat "sementara" sesama beli kucing dalam karung,
itupun jika bapak anggap rakyat lebih parah dari partai.
Apa bapak tidak pernah bilang suara rakyat suara Tuhan?
.
Wakil Rakyat yang blom terhormat.
Menggelikan ketika ingin perberat syarat maju independen,
bikin aturan kok sesuai kepentingan.
Masih ingat UU MD3?
Lalu kalian rasa hebat sebagai penyelenggara negara?
Syukur Presiden tolak kemauan kekanak-kanak'an itu.
Kenapa tidak suarakan sebelum Ahok putuskan maju perseorangan?
Hanya gara-gara ingin jegal Ahok lalu UU mau diganti?
Sungguh itu amat sangat menggelikan dan telanjang dimata kami.
.
~~~~~~~~~~
.
Menurut saya, kalau mau buat UU, Peraturan, Tatib dan sejenisnya, buatlah bukan untuk kepentingan kalian saja, bukan dengan cara di voting untuk menang-menangan demi kepentingannya, tapi untuk "selamanya". Memang tidak mungkin membuat UU adalah keabadian, karena itu hanya ada di kitab suci, hanya Tuhan yang bisa melakukan. Tapi kalau dari awal sudah niat UU atau aturan dibuat demi kelompoknya, apa itu boleh dikatakan UU? Itu semacam perjanjian sepihak mirip yang ada dibelakang karcis parkir, kehilangan apapun bukan tanggung jawabnya, karena berdalih hanya menyewakan lahan untuk parkir. Contohlah pembuatan aturan diolah raga, sepak bola misalnya, kena tangan itu hand ball, bola keluar lapangan out ball, ada juga offside, hukuman penalti, kartu kuning, kartu merah dsbnya. Dan aturan itu berlaku bagi kedua belah pihak, tidak ada nuansa diuntungkan karena sedang tandang atau kandang. Apakah UU MD3 yang kalian buat juga bisa berlaku dalam waktu beberapa dasa warsa? Atau kalian akan tereak-tereak minta diganti andai setelah Pemilu Legislatif periode yang akan datang komposisi perkawanan berbalik posisi? Semoga saya masih sempat menyaksikan hal-hal semacam itu, dan yang ingin saya tanyakan, apakah di negara-negara maju juga seperti dinegara ini? Atau justru berdalih karena blom negara maju maka sudah sangat benar membuat aturan suka-suka? Lalu itu semua atas biaya rakyat semesta negeri ini melalui pajak yang dibayarnya? Kenapa kebangetan semacam itu selalu kalian pertontonkan? Salahkah "musim" independen kemauan rakyat? Kenapa tidak instropeksi kedalam bahwa rakyat sangat muak? Apakah setelah kalian kadali dalam memilih kalian untuk menduduki kursi terhormat, menentukan calon pemimpinnyapun juga harus kalian rampok? (SPMC SW, Jumat, 25 Maret 2015)
.
.
CATATAN :
Calon independen lebih tepat adalah calon "perseorangan".
.
Sumber gambar:
www.netralnews .com

-------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun