Mohon tunggu...
Suhindro Wibisono
Suhindro Wibisono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

. ~ ~ ~ ~ " a critical observer " ~ ~ ~ ~ ( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Emon & Renggo Korban "Kloning Egois"

6 Mei 2014   23:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_335025" align="aligncenter" width="370" caption="Image source: harianjogja.com"][/caption]

Kompasiana. Pendidikan Negeri ini sangat memprihatinkan, betapa ngerinya saat-saat ini, peristiwa itu bisa terjadi dimana saja, disekolah PAUD semewah JIS (Jakarta International School) dengan bayaran uang sekolah US$2.700. per bulan-pun ternyata tidak menjamin keamanan bagi anak-anak.(Jika ±US$1=Rp.11.500, maka perbulan lebih dari Rp.31 Juta!)

Lalu sangat banyak terungkap peristiwa memprihatinkan yang harus diterima anak-anak generasi penerus Bangsa ini, ada Bapak yang tega melecehkan Anak gadisnya sendiri yang berumur 18 bulan karena keretakan rumah tangganya, dan sangat memprihatinkan ternyata sang Bapak adalah anggota TNI AU, masih sangat banyak kejadian-kejadian memilukan yang dialami anak-anak yang terberitakan belakangan ini, karena sangat banyaknya, begitu banyak pula yang seolah-olah hanya numpang lewat, tergerus berita selanjutnya yang memang juga sangat memprihatinkan dan ternyata lebih dahsyat!

Kasus EMON si-raja sodomi tentu saja sangat menggemparkan belakangan ini, korbannya begitu banyak, yang sudah terungkap ada 89 anak, dan ada kemungkinan jumlahnya akan bertambah ....... Bisa jadi William J Vahey pelaku paedofilia yang bunuh diri pada 21 Maret 2014 dari Amerika tidak ada apa-apanya kalau dilihat dari kecepatan melakukan paedofilia. Si Emon ini sepertinya baru tahun lalu melakukan(?), tapi korbannya sudah bejibun, sedangkan si Vahey yang terungkap korbannya dimulai tahun 2008 dan mencapai 90 anak.

Tapi yang tampak nyata perbedaannya adalah perlakuan oleh Pemerintah, Amerika dengan FBI-nya menelusuri jejak si Vahey sampai ke Indonesia karena memang si Vahey pernah jadi guru di JIS selama 10 tahun (1992~2002), dengan misi penyidikan dan PENDAMPINGAN terhadap korban.

Kalau di sini, yang banyak beredar adalah ringan-nya hukuman yang diberikan terhadap pelaku, mengenai si-korban .....sepertinya Negara tidak akan sanggup memulihkan kondisinya, karena menurut beberapa ahli kejiwaan yang pernah saya dengar, dibutuhkan waktu ber-tahun-tahun atau bahkan ber-puluh tahun pendampingan untuk mengobati trauma, dan tentu saja itupun tidak menghapus 100 persen luka batin. Jadi ..... apakah itu semua tidak menggerakkan hati para Hakim untuk memberi hukuman tertinggi kepada para pelaku perusak generasi Bangsa? Apakah tidak paham akibat-nya sehingga tidak menyentuh hati para hakim? Atau karena bukan menimpa anaknya? (Semoga setelah marak sorotan kasus itu, hukumannya jadi seberat derita anak yang akan dialami seumur hidupnya)

Iseng saya merenung dan berpendapat mungkin absurd, seandainya pada kasus persidangan Emon nanti, penuntutan perkaranya tidak dijadikan satu, prosesnya boleh saja jadi satu. Lalu si Emon dijatuhi hukuman 15 tahun untuk satu orang korban, maka kalau ternyata korbannya ada 100 anak, maka si Emon akan menerima hukuman 100X15= 1.500 tahun penjara. Bukankah itu rasional, karena memang korbannya merasakan derita yang juga tidak mungkin disatukan dalam satu penderitaan. Alias penderitaan yang individual, yang disebabkan oleh sang pelaku. Sori kalau saya mulai ngaco dalam kejengkelan.

Lalu bisakah Pemerintah dan DPR yang akan datang segera merevisi UU? Koruptor yang merugikan uang Negara lebih dari 1Milyar ; Bandar Narkoba ; Teroris ; Pelaku Paedofilia, hukumannya adalah minimal tertinggi yang dapat diterapkan dalam UU tersebut, dan tidak bisa mendapat grasi maupun remisi pengurangan hukuman seperti yang selama ini terjadi. Kalau dilaksanakan pasti banyak yang kontra, karena namanya saja LP, alias Lembaga Permasyarakatan .....tempat untuk mendidik para pelaku kejahatan kembali kejalan yang benar ..... Idealisme yang ternyata justru merusak tatanan Negara karena jadi tidak menjerakan, dan menjadikan kawah perdagangan hukum yang paling disuka oleh para pengacara karena disitulah pusat pat-pat-gulipat yang justru tampak ketidak adilan terjadi, karena berbuntut hukum yang seolah hanya memihak mereka yang mampu membelinya. Maaf, setidaknya begitulah menurut pengamatan saya sebagai warga yang awam tentang hukum.

Renggo yang baru kelas 5 SD terbunuh akibat ulah kakak kelasnya, peristiwa lain yang sangat memilukan, begitu juga Taruna STIP yang harus meninggal karena dihajar senior-nya, lalu banyak sekali peristiwa-peristiwa penganiayaan yang terberitakan dalam waktu yang berdekatan, masihkah kurang contoh-contoh ke-sadis-an warga Bangsa ini? Pada banyak peristiwa, begitu juga yang terjadi di STIP maupun di STPDN yang lampau-lampau, dan juga disemua kejadian, semua tokoh selalu mengatakan "semoga ini adalah yang ter-akhir".

Dan saya jadi merenung .....apakah ada manfaatnya kata-kata tersebut? Melihat kenyataan yang ada, ternyata kejadiannya bukannya berkurang, tapi malah bertambah dan menyebar kesemua kalangan dan strata kehidupan Bangsa ini. Kalau menurut saya, ke-egois-an adalah awal mula semua akibat, mungkin saya bisa menjabarkan bahwa awalnya adalah ke-egois-an. Singkatnya begini, (kalau ingin membicarakan di tanggapan silahkan) korupsi karena egois, egois karena berpikir yang penting aku kaya walau harus menghancurkan Bangsa ini. Pengedar narkoba juga sangat egois, yang penting aku cepat kaya, bodo amat walau generasi Bangsa ini akan hancur. Teroris juga karena egois, egois karena kebanyakan adalah memperjuangkan kebenarannya sendiri, kebenaran yang sangat egois karena tidak bisa menerima kebenaran yang lain selain kebenarannya sendiri, jadi bila perlu kebenaran yang lain harus dilenyapkan walau harus menjadi teroris untuk melaksanakannya. Pelaku paedofilia juga egois, jangan dibantah dulu karena Anda berpikir bahwa pelakunya juga merupakan korban, coba Anda pikirkan tentang contoh Anak 18 bulan yang dilecehkan Ayahnya sendiri tersebut diatas. Tapi kalau kita pikirkan sebab awalnya itu semua terjadi, karena hukum tidak pernah benar-benar ditegakkan di-Negeri ini. Ketika doeloe sebelum internet merebak dan masih merupakan sarana terbatas, ketika film video porno belum segampang sekarang yang bisa ditonton oleh semua pengguna internet, apakah Negara ini benar-benar bisa memberantas pengedaran penjualan video porno yang begitu murah dan masal? Bisa kalau mau! Tapi karena ke-egois-an melanda "hampir" semua warga Bangsa, memilih menerima upeti dari pada harus memberantas sampai ke-akar-akar-nya. Tidak mau berpikir jauh kebelakang tentang kemaslahatan Bangsa, atau tidak ngerti juga? Bukankah ke-egois-an itu juga yang tergambar ketika Gubernur Jateng sidak di jembatan timbang? Bodo amat jalanan rusak, yang penting aku dapat duit setiap harinya, urusan Negara dan jalanan rusak bukan urusanku. Semuanya begitu masa bodo dengan Negara ini, semuanya begitu egois, jadi akankah Negara ini menuju kearah kebaikan dalam waktu dekat? Silahkan Anda perkirakan sendiri. Jangan lupa mempertimbangkan para korban paedofilia besar kemungkinan juga akan jadi pelaku dikemudian hari, begitu juga yang dialami Emon, dan dia sudah meng-kloning potensi wabah tersebut ke 89 anak lain.

Bahkan ada yang punya ide: "Itu semua terjadi karena Negeri tidak memberlakukan Syariat Islam". Padahal belum lama ini juga terjadi pelecehan seksual di Aceh. Dan kalau mau mencari informasi via Om Google, kalau Anda mencari tentang kehidupan yang nyaman/tentram/aman/menyenangkan dan sejenisnya itu di Negara mana, maka Anda akan tahu bahwa (maaf) Negara dengan pemberlakuan Syariat Islam ternyata bukan jawaban yang benar. Sekali lagi maafkan saya atas contoh tersebut, karena saya belum lama ini membaca artikel dan juga tanggapan tentang hal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun