[caption id="attachment_361638" align="aligncenter" width="663" caption="(image) indoku.co.id"][/caption]
Kompasiana. KETIKA ribut TNI vs POLRI, "padahal" itu se-iprit yang terkabarkan karena DISPARITAS harga BBM yang sangat rawan diselewengkan. Masihkah itu dibiarkan, bukankah sudah sangat sering terberitakan yang serupa dan melibatkan banyak macam oknum aparat Negara?
KETIKA Harga Gas ELPIJI 12 Kg naik, rakyat berbondong-bondong pindah ke Gas Melon ukuran 3 Kg, saya tidak yakin kalau hal itu tidak dipahami sebelumnya.
KETIKA anggota DPR tetap dilantik walau statusnya tersangka, itu sudah pernah terjadi, dan kita semua ternyata memilih jadi lebih dungu dari pada keledai. Ditambah banyaknya anggota DPR yang menggadaikan "surat pengangkatannya", supaya cepat lunas, jangan-jangan itulah salah satu sebab kenapa ngotot mau Pilkada tidak langsung? Paling lucu mendengarkan argumentasi para tokoh politik yang ingin Pilkada lewat DPRD saja, katanya KPK lebih mudah ngawasi 50 anggota DPRD dari pada rakyat yang begitu banyak? Logika keblinger dan sudah berhasil mempesona para lawan tokoh politik yang ternyata banyak terpana dan tidak bisa menjawab. Padahal, ibarat satu kolam berisi 50 ekor ikan, dan kolam yang lain berisi 500 ribu ekor ikan, di kolam mana yang mudah menangkap ikan? Kalau sama-sama berkehendak, bukankah menangkap "serangan fajar" lebih gampang dibanding menangkap anggota DPRD yang sudah tahu diawasi dan pastinya akan lebih licik entah pakai calo tingkat berapa? Yang jadi masalah adalah tegaknya hukum untuk bidang politik sepertinya hanya kaya wacana dan miskin implementasi. Kenapa tidak melihat dengan mata hati nurani, apakah ketika waktoe itoe akan diubah menjadi Pilkada Langsung juga ada demo yang begini banyak oleh rakyat? Jadi sebetulnya DPR itu singkatannya apa? Atau jangan-jangan walau singkatannya tetap sama, tapi persepsinya jadi "Dewan Penipu Rakyat"? Atau Pemeras? Dan ngenesnya, mau jadi Penipu/Pemeras dengan membekali ilmu kekebalan, bukankah begitu salah satu usulan UU MD3? Sepertinya kita semua digiring menuju jurang kenistaan oleh ke-egois-an, dan jengkelnya, kita digiring tokoh-tokoh yang telah kita pilih sendiri dalam Pileg. Kalau ada yang merasa tidak ikut memilih, itulah bukti nyata bahwa Golput-pun juga terkena imbasnya. Kalau alasan banyaknya korupsi saat ini, seandainya ada KPK saat itu, jangan-jangan 100 persen Kepala Daerah hasil pemilihan DPRD waktu itu tertangkap semua karena korupsi. Cari alibi/pembenaran/pembanding kok yang lucu-lucu dan tampak sangat egois. Lalu supaya tampak mendapat dukungan, hari ini Koalisi Merah Putih (KMP) mengerahkan massa untuk demo di gedung DPR menuntut Pilkada Tidak Langsung, pada sebelum-sebelumnya selalu tereak UU MD3 tidak ada urusannya dengan KMP. Piye toh?! Banyak yang kalap, atau saya yang salah tangkap makna? Dijaga sangat banyak aparat supaya tidak terjadi bentrok, dan lebih seru dengan pengaturan waktu orasi.
KETIKA kabut asap melanda lagi, kejadian rutin yang semakin meyakinkan kita, ternyata mengelola Negara tidak semudah teorinya. Atau memang tidak becus? Pada setiap kejadian kabut asap, pihak POLRI selalu mengumumkan berhasil menangkap pembakar-nya, lalu tidak dengar lagi kelanjutannya, siapa dibalik itu semua, apa hukumannya? Terus kalau itu semua ternyata tidak pernah menjerakan pelaku pembakarnya, kenapa tidak pernah merubah aturan mainnya? Kenapa? Sepertinya kita semua tidak peduli karena terlalu egois, padahal itu jelas-jelas merugikan Negara, bukankah kita juga mendengar tentang adanya penyewaan alat pemadam kebakaran dari Luar Negeri yang tentu saja tidak murah? Belum kalau tidak dikorupsi? Dan bagaimana dengan kerugian kesehatan masyarakat? Apakah menunggu sampai kiamat baru selesai dengan sendirinya soal kabut asap? Memang di Negara majupun juga pernah terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan kabut asap, baik itu di Amerika maupun di Australia, tapi tidak kejadian rutin yang sengaja dicipta demi kepraktisan dan ke-egoisan! Jangan-jangan itulah benang merahnya, kenapa banyak rakyat yang tidak setuju kita punya Nuklir untuk pembangkit listrik sekalipun, lha mencegah asap yang rutin terjadi saja tidak becus ......
KETIKA Mapram/Perploncoan/Ospek masih terjadi dan menelan korban entah itu ditingkat SMU maupun Univesitas, kenapa tidak dilarang saja? Apakah begitu yakin bahwa hal tersebut tetap diadakan karena banyak manfaat? Logika apa lagi yang ingin tetap dipertahankan? Padahal sepintas yang pernah saya dengar menurut ilmu pendidikan baik dirumah maupun disekolah, mengajarkan dengan kekerasan akan menghasilkan kekerasan juga. Sungguh menjengkelkan menuntaskan masalah itu saja tidak becus. Kalau dikasih peraturan bahwa mapram/perpeloncoan/ospek atau diselubungkan dengan istilah-istilah lain seperti 'masa perkenalan' dan lain-lain adalah dilarang diadakan dengan sanksi pemecatan dengan tidak hormat Kepala Sekolah atau Rektor-nya, saya kok yakin tidak akan ada lagi. Tapi harus benar dan tegas implementasinya.
KETIKA ada demo tolak penggusuran ditempat yang terlarang mendirikan bangunan atau memang bukan haknya, apa lagi dengan alasan belum ada sosialisasi atau uang ke-rohim-an belum sesuai, sungguh memprihatinkan. Dan itu juga terjadi dengan pengosongan rumah dinas yang ditinggali oleh para pensiunan yang tidak mau pindah karena merasa sudah menempati rumah puluhan tahun lamanya. Ternyata banyak diantara kita yang tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seringnya kita mendengar tentang hal itu semua, berarti para pengambil kebijakan tidak pernah belajar tentang hal itu. Apa susahnya pengawasan mendirikan bangunan ditempat yang terlarang dilakukan oleh Lurah misalnya, sehingga tidak terjadi sudah sangat banyak dan berpuluh tahun baru ditertibkan. Bukankah seharusnya sebagai Lurah menguasai wilayah tugasnya? Dan para Pensiunan harusnya segera meninggalkan rumah dinas segera setelah memasuki masa pensiun, tanpa kecuali. Yang sering terjadi adalah ewuh pekewuh, apalagi kalau yang pensiun punya jabatan, sehingga mantan anak buah tidak enak kalau harus mengusirnya, dan terjadilah berpuluh tahun tinggal dirumah dinas, sampai ganti pemimpin di instansi tersebut yang merasa tidak pernah hutang budi, lalu terjadilah pengusiran yang diributkan itu.
Sungguh banyak hal yang bisa dilakukan dan segera membuat Negara ini hebat kalau aturan dilaksanakan sebagaimana mestinya dan hukum ditegakkan dengan tegas, bukan hanya diwacanakan saja. Dan untuk semua hal yang bersifat umum, percayalah tidak akan berhasil kalau itu bersifat himbauan atau mendua! Jadi jangan mengharap adanya ketertiban dengan himbauan. Jangan buang sampah sembarangan! Jangan melanggar peraturan lalu lintas atau tertiblah berlalu lintas! Jangan Mencuri! Jangan Korupsi! Dan seabrek "jangan" lainnya, bahkan masih diembel-embeli dengan sumpah jabatan segala. Terbukti tidak bermanfaat bukan? Begitu juga yang terjadi dengan mendua, maksud saya adalah disparitas harga untuk umum, contohnya BBM dan Gas Elpiji, sami mawon hasilnya, tidak akan berhasil! Percayalah, dan ayolah segera akhiri hal-hal itu, sekali lagi himbauan dan mendua tidak akan ada gunanya untuk umum. Yang bisa berhasil adalah tindakan tegas sesuai UU dan hindari keputusan mendua. (SPMC SW, September 2014)
.
Catatan:
Untuk urusan BBM dan Gas ELPIJI 12 Kg, masalah akan lebih sederhana kalau menghilangkan subsidi BBM dan harga Gas Elpiji 12 Kg tidak perlu dinaikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H