Simposium Cendekiawan Kelas Dunia (SCKD) yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2019 memberikan teguran keras pada dosen di seluruh Indonesia. Memang perlu ada perenungan khusus terkait dengan fenomena yang terjadi belakangan ini. Â
Hal ini berkaitan dengan para dosen yang cenderung sibuk "berproyek" tanpa memperhatikan mahasiswa yang sedang butuh pertolongan dalam pendidikannya. Proyek penelitian yang beragam, kompleksitas kegiatan yang teramat padat seringkali membuat oknum dosen saat ini lupa tugas utamanya yaitu mendidik mahasiswa.Â
Acapkali pertemuan intens untuk bimbingan tugas akhir sangat susah, apalagi pertemuan mingguan di kelas. Dosen dewasa ini diberikan tugas berat untuk keberlangsungan strata karirnya sehingga menjadikan mahasiswa sebagai sektor sekunder yang bisa dibahas kemudian.
Ditengah tugas mendidik mahasiswa, dosen juga harus menjadi pemburu proyek agar strata keuangan dan akademiknya meningkat. Alhasil perburuan status untuk peningkatan karir berdampak pada psikologis mahasiswa yang lelah untuk menunggu dan mengejar dosen yang bersangkutan.Â
Akhirnya yang terjadi adalah mahasiswa tertentu akan mengalami penurunan semangat untuk belajar, rasa hormat dan respek pada dosen yang selalu sibuk mengalami degradasi.
Dalam beberapa kasus bisa ditemukan bahwa terdapat oknum tenaga dosen yang memang intensitas bertemu dengan mahasiswa bimbingannya sangat minim. Seolah olah bimbingan untuk mahasiswa bukanlah tugas mendesak sehingga selalu menjadi prioritas terbelakang.Â
Belum lagi perebutan posisi struktural dalam perguruan tinggi menjadi polemik bagi internal perguruan tinggi tertentu. Perbedaan sudut pandang dalam mendidik memberikan dampak pada cara pandang mahasiswa.Â
Misalnya saja dalam status pendekatan penelitian Kualitatif dan Kuantitatif seringkali dibenturkan sebagai 2 (dua) buah metode yang tidak bisa disatukan sehingga acapkali ketika mahasiswa memilih pendekatan penelitian yang berbeda dengan "kemampuan" dosennya akan mendapatkan perlawanan sengit sehingga sulit untuk menemukan titik terang dalam penelitian.
Ada apa dengan pendidikan tinggi dewasa ini ? Pendidikan Tinggi saat ini terkesan menjadi arena perlombaan para pendidik untuk memperoleh kenaikan pangkat.Â
Asal kenaikan pangkat bisa terwujud tugas terhadap mahasiswa tidaklah menjadi prioritas. Apalagi mahasiswa juga cukup senang jika dosennya tidak datang ke kelas untuk mengajar. Alhasil pendidikan tinggi melahirkan generasi yang kurang bisa menghormati para dosennya.
Standar pendidikan yang kian meninggi sampai-sampai esensi dari pendidikan itu mulai terkikis rapi untuk sebuah standar yang mendunia. Apa petingnya sebuah standar jika hanya meniadakan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam diri tiap pengajar?Â
Sepertinya setiap orang harus merenungi betapa berbedanya dunia pendidikan sekarang ini dengan spirit yang dulu diperjuangkan. Bukan hanya pengajar, melainkan para mahasiswa juga harus mempertanyakan orientasinya, sejauh ini apakah sekolah karena memang ingin menjadi cerdas ataukah justru karena gengsi jika tidak berpendidikan?
Meskipun demikian dalam kasus pendidikan tinggi para mahasiswa betul-betul membutuhkan kehadiran dosennya agar dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.Â
Bukan apa-apa karena biaya pendidikan saat ini makin tinggi, sementara beasiswa pendidikan hanya mampu menjangkau beberapa saja, itupun syarat untuk meraih beasiswa juga sudah makin bertele-tele.Â
Pemberian beasiswa juga terkesan hanya mengincar orang pintar untuk disekolahkan sedangkan orang bodoh tidak mungkin dapat beasiswa. Pendidikan sekarang ini tidak jauh dari sistem kapitalis yang kejam itu.Â
Beragam standar dengan dalih sertifikasi kian mewarnai persyaratan memperoleh beasiswa. Â Pendidikan sekarang ini akan menjadikan yang pintar semakin pintar, sedangkan sibodoh akan tetap bodoh yang tidak terlalu dibutuhkan di dunia pasca pendidikan selesai.Â
Alhasil tenaga kerja yang lahir dari rahim perguruan tinggi tidak semua memiliki komptensi yang sama. Bagaimana tidak, kapitalisasi pendidikan sudah semakin mengikis peranan perguruan tinggi dalam mencetak kaum intelek yang siap bersaing di pasar tenaga kerja.
Belum lagi kompetensi tidaklah terlalu penting di pasar tenaga kerja. Apabila setiap calon tenaga kerja memiliki relasi ke dalam suatu instansi penyedia lapangan kerja itu akan jadi faktor penentu diterima atau tidaknya menjadi seorang pekerja.Â
Praktik nepotisme masihlah jadi wajah industri saat ini. Tidak ada sepenuhnya persaingan yang benar-benar sempurna dalam meraih suatu pekerjaan. Itu adalah fakta yang tidak bisa dihilangkan. Budaya-budaya persaingan tidak sehat masih jadi praktik dibalik layar.
Kabar baiknya adalah saat ini Pendidikan Indonesia telah berbenah, program-program inovatif seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (KEMDIKBUDRISTEK) telah membawa semangat baru bagi industri Pendidikan dan pasar tenaga kerja.Â
Mahasiswa dituntut memiliki pengalaman sebelum lulus sehingga persyaratan administrasi pekerjaan yang membutuhkan syarat "perpengalaman" dapat dipecahkan. Sinergi antara berbagai pihak memang sangat diperlukan untuk menciptakan iklim Pendidikan yang berkualitas.
Kita boleh berharap bahwa MBKM ini adalah win-win solution atau jalan keluar dari fenomena dosen sibuk berproyek, mahasiswa malas belajar dan pasar tenaga kerja yang kian memiliki standar tinggi di Indonesia. semoga saja impelementasi MBKM tidak ikut berakhir dengan usainya masa jabatan presiden Joko Widodo di tahun 2024 nanti.Â
Harapan besar agar program MBKM dapat menjembatani kepentingan semua pihak yang terlibat didalamnya, khususnya para mahasiswa dalam memperoleh hak-haknya sebagai kaum terpelajar yang akan memimpin bangsa ini di era Indonesia emas tahun 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H