Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2021 Banyak Bencana, Benarkah Pertanda Akhir Zaman?

10 Februari 2021   14:59 Diperbarui: 10 Februari 2021   15:34 3613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu sore, saya terlibat dalam obrolan santai bersama seorang bapak yang kebetulan adalah tetangga kosan. Obrolan kami makin sore makin asik, apalagi ditemani kopi panas dan pisang goreng. Banyak hal yang kami bicarakan saat itu, terutama terkait kondisi terkini di negeri ini di awal tahun 2021.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa banyak sekali peristiwa pilu dan menyedihkan di awal tahun ini. Mulai dari tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air yang menelan nyawa puluhan orang, gempa bumi, tanah lonsor, sampai bencana banjir yang juga merenggut nyawa banyak orang. Padahal, pandemi Covid-19 yang sudah melenyapkan ribuan dan bahkan jutaan orang di dunia belum ada tanda-tanda berakhir.

Menurut si bapak, rentetan bencana tersebut merupakan tanda-tanda akhir zaman. Namun, menurut saya, bencana tersebut bukan tanda-tanda kiamat atau akhir zaman, melainkan sebagai peringatan keras untuk semua manusia di dunia. Si bapak itu tak mau mengalah dan tetap ngotot pada pemikirannya. Saya juga demikian, tetap tegar pada pandangan saya sendiri. Sehingga obrolan dan perdebatan kami tak menemukan titik temunya.

Untuk itu, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud akhir zaman itu. Menurut keyakinan Kristen Protestan, akhir zaman adalah peristiwa kesengsaraan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi sebelum kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Sedangkan, Gereka Katolik tidak memberikan gambaran yang jelas tentang akhir zaman. Namun, Gereja Katolik berpandangan bahwa akhir zaman sudah terjadi 70 tahun sesudah masehi, sebagaimana yang dilukiskan dalam kitab Wahyu.

Gereja Katolik juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa Kristus akan datang kedua kali seperti yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Sebab, kedatangan Kristus yang kedua kalinya itu sifatnya seperti pencuri dan tak seorang yang dapat mengetahuinya (bdk.1 Tes 5:2). Artinya, hanya Tuhan sendirilah yang tahu tentang kedatangan-Nya yang kedua kali.

Lantas, pertanyaannya: apakah benar bahwa bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia menandakan akhir zaman? Atau setidaknya bencana tersebut tersebut menunjukkan bahwa dunia hampir kiamat? Dari penjelasan di atas kita bisa memahami dengan terang benderang bahwa terjadinya rentetan bencana yang menyedihkan itu bukanlah tanda-tanda akhir zaman, apalagi jika dibilang tanda kedatangan Kristus kedua kalinya.

Menurut hemat saya, terlalu sederhana dan dangkal jika kita menyimpulkan bahwa kesengsaran dan penderitaan sebagian orang karena terkena dampak buruk bencana di bumi menunjukkan akhir dari seluruh peradaban manusia di dunia. 

Apalagi jika kesimpulan tersebut diungkapkan oleh manusia beragama. Malah, kita bisa bertanya: seberapa luas pemahaman keagamaan kita terhadap bencana-bencana tersebut?

Bencana Sebagai Peringatan

Seperti yang sudah diutarakan di bagian awal tulisan ini bahwa bencana-bencana alam yang terjadi, menurut saya, membawa peringatan penting kepada seluruh umat manusia di bawah kolong langit. Bahwasannya ada yang salah dari cara kita berada dan memperlakukan alam tempat dimana kita hidup.

Sikap antroposentrik yang memandang bahwa manusialah pusat dan spesies paling penting di dunia ini, terlalu berbahaya dan harus segera dirubah jika mau agar supaya bumi ini tetap menjadi tempat yang nyaman untuk mementaskan kehidupan kita.

Karena realitanya, banyak masyarakat yang mati sia-sia karena bencana banjir misalnya. Banjir yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini, bukan karena tingginya curah hujan sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden Jokowi. Akan tetapi, banjir tersebut disebabkan oleh kerusakan hutan. Semuanya itu terjadi kerena kejahatan manusia semata.

Banyak orang, terutama kaum-kaum kapitalis yang mengeksploitasi sumber daya alam di dalam perut bumi secara membabi buta yang justru menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Dan parahnya, negara semacam membiarkan semua kerusakan itu terjadi. Upaya untuk mengatasi semua kerusakan tersebut hanya diungkapkan ketika bencana banjir terjadi. Sedangkan, langkah konkret pasca bencana di lapangan hampir tak ada.

Dan masyarakat kecil yang tak mampu bersuara selalu menjadi korban atas semua kerusakan alam yang terjadi dinegeri ini. Ketika bencana datang dan mengancam keselamatan, mereka hanya bersikap pasrah saja. Seakan-akan mereka berjuang sendiri dan tak ada lagi yang mau peduli dengan nasib mereka.

Oleh sebab itu, marilah kita berbenah diri. Kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap alam semesta serta segala isinya. Bahwa kita sangat tergantung pada alam. Alam menyediakan segalanya untuk kebahagiaan kita. Karena itu, perlakukan alam semesta ini dengan sebaik-baiknya sehingga alam semesta tetap bersahabat dengan kita. SEKIAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun