Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Tak Peduli dengan Etika Politik

28 Juli 2020   00:28 Diperbarui: 28 Juli 2020   05:30 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini, diskusi tentang dinasti politik hangat diperbincangkan di berbagai media online, termasuk di Kompasiana. Saya kira sudah banyak kompasianer hebat yang menulis tentang dinasti politik beberapa hari terakhir. Dan saya pun tertarik untuk membahas hal yang sama. Barangkali masih menarik untuk didiskusikan.

Munculnya diskusi dan perdebatan tentang dinasti politik ini bermula dari munculnya sejumlah calon Kepala Daerah yang dianggap dipersiapkan oleh kerabat penguasa dan pemerintah.

Gibran Rakabuming, putera sulung Presiden Joko Widodo misalnya, sudah resmi diusung PDIP menjadi calon Wali Kota Solo. Atau Putri Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah yang diusung PKS untuk ikut berkontestasi dan berkompetisi dalam Pilkada di provinsi Tangerang Selatan.

Pengusungan Gibran, Azizah dan beberapa calon lainnya dinilai sebagian besar masyarakat sebagai praktik dinasti politik. Kekuasaan diupayakan sedemikian rupa supaya tetap diteruskan oleh anggota keluarga sendiri. Jangan sampai negeri ini dikuasai oleh orang-orang yang tak punya ikatan kekeluargaan dengan penguasa.

Persis seperti itulah sistem kerajaan Hindu-Buda di Jawa pada abad ke-7 masehi. Yang berhak menjadi raja adalah keluarga dari raja itu sendiri. Orang lain tidak berhak dan tak layak.

Pertanyaannya, apakah dinasti politik itu salah?

Dari segi kalkulasi politik, saya kira, pengusungan anggota keluarga penguasa yang masih menguasa di sejumlah provinsi merupakan strategi politik yang paling jitu. sebab, peluang menangnya sangat besar.

Terutama untuk Gibran. Kita Tahu bersama bahwa Jokowi sudah berbuat banyak untuk masyarakat Solo ketika dia menjabat sebagai Wali Kota Solo. Mulai dari penataan pedagang kaki lima, kemudahan dalam pembuatan KTP, sampai pada reformasi birokrasi yang dilakukannya, membuat masyarakat sangat mencintainya.

Oleh karena itu, masyarakat pasti memilih Gibran. Mereka memilihnya, sebagai ungkapan terima kasih kepada Jokowi. Terlepas dari fakta bahwa Gibran tidak memiliki pengalaman berpolitik yang memadai. Kita tahu bahwa Gibran hanyalah seorang pendiri kuliner martabak (makobar).

Yang penting menang, kapasitas urusan kemudian

Melihat fakta bahwa PDIP mengusung Gibran, saya kira sangat wajar jika dikatakan bahwa partai-partai politik lebih mengutamakan kemenangan daripa kapasitas kandidat.

Seringkali memang demikian. Partai-partai lebih cenderung mendukung kandidat yang peluang menangnya besar daripada mendorong calon-calon yang sebenarnya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik untuk memimpin.

Sebut saja contoh misalnya, Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Kita tahu bahwa Ma'ruf Amin dipilih oleh partai koalisi: PDIP, Nasdem, Golkar, PKB dan partai koalisi lainnya karena peluang menangnya sangat besar. Padahal, pak Ma'ruf Amin tidak berpengalaman menjadi pemimpin pemerintah sebelumnya.

Dampak lanjutnya, bisa kita lihat sekarang. Wakil Presiden kita semacam tak berkerja maksimal. Bukan karena usia beliau yang sudah sangat tua. Tetapi, karena dia tidak mampu menjalankan tugas-tugas penting sebagai Wakil Presiden.

Dinasti politik bukti memunduran demokrasi

Dinasti politik, hemat saya, sebagai bukti kemunduran demokrasi. Demokrasi di negeri ini seakan berjalan mundur ke belakang. Demokrasi yang sejatinya hanya untuk kesejahteraan masyarakat, namun kini dinodai oleh keluarga penguasa yang selalu menginginkan kekuasaan.

Partai-partai politik juga gagal dalam mempersiapkan kader-kader partai yang berkualitas untuk memimpin daerah-daerah di seluruh Indonesia. Sehingga mereka lebih mudah mendukung kerabat pejabat daripada bersusah payah dalam mendidik calon pemimpin yang berintegritas.

Hal ini tentu saja mengabaikan etika politik. Politisi memang tak mau peduli dengan etika politik. Etika politik tidak lain dan tidak bukan hanya dibutuhkan oleh masyarakat yang menginginkan perubahan. Bukan oleh para politisi dan calon-calon pejabat yang selalu haus akan harta, tahta dan jabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun