Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajar untuk Mencerdaskan Anak-anak Bangsa, Bukan Membodohkan Mereka

26 Juli 2020   00:40 Diperbarui: 26 Juli 2020   01:16 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai guru SMA, penulis seringkali mendengar cerita dari peserta didik perihal guru yang tidak berkompeten. Mereka tidak menguasai materi yang sedang dipelajari.

Selain itu, banyak juga guru yang mengajar dengan cara-cara yang lama. Semacam mentransfer pengetahuan (center teacher). Guru tampil sebagai "orator ulung". Guru tersebut berbicara dari awal hingga akhir. Sedang, siswa dibiarkan duduk tenang, mendengar lalu pulang.  

Padahal sebenarnya, dalam kurikulum 2013, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Guru memfasilitasi berlangsungnya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Guru memberikan gagasan pokok materi. Kemudian, peserta didik dibagikan kedalam kelompok-kelompok untuk berdiskusi.

Setelah berdiskusi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaporkan atau mempresentasikan hasil diskusinya. Sementara, kelompok lain menanggapi untuk mendalami apa yang dipresentasikan.

Ketika ada hal-hal yang sulit dibahas oleh siswa, guru mencoba memberikan penjelasan yang lengkap dan komprehensif. Sehingga siswa sungguh-sungguh memahami materi yang sedang didiskusikan.

Kedua, rendahnya semangat belajar peserta didik. Banyak peserta didik yang kurang semangat dalam belajar. Hal ini diukur dari hasil belajar. Ketika diadakan Penilaian Harian (PH), Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Akhir Semester (PAS), banyak peserta didik yang mendapat nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).

Berhadapan dengan peserta didik seperti itu, sekolah masih memberikan kemudahan, yakni mengadakan remedial. Padahal, menurut hemat penulis, program remedial ini memanjakan peserta didik. Karena realitanya, perserta didik yang selalu mendapat nilai minimal seringkali bersikap biasa-biasa saja ketika mendapatkan nilai rendah. Hampir tidak ada niat untuk berjuang agar mendapatkan nilai maksimal. Karena remedial selalu menunggu mereka.  

Ketiga, kurangnya kepedulian orang tua. Banyak orang tua yang tidak peduli dengan anak-anaknya. Orang tua seakan-akan tidak punya waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Hal ini terjadi karena kesibukan orang tua. Orang tua selalu sibuk bekerja. Saking sibuknya, lupa memberikan semangat dan motivasi kepada anak-anak.

Evaluasi Pemangku Pendidikan 

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia harus menjadi evaluasi bersama para pemangku kepentingan pendidikan. Kemendikbud misalnya, harus mengevaluasi bagaimana penggunaan APBN  setiap sekolah. Apakah dana sebesar 505, 8 triliun itu sungguh-sungguh digunakan secara tepat sasar? Jangan-jangan dana tersebut justru sebagian besar masuk ke kantong-kantong pribadi para kepala sekolah dan antek-anteknya?

Selain Kemendikbud, para sekolah juga perlu mengevaluasi cara menerima guru-guru baru di setiap sekolah di seluruh pelosok tanah air. Harus ada uji kompetensi ketika guru tesebut melamar untuk mengajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun