Salah satu momen yang paling seru di desa adalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Pilkades bagi masyarakat di daerah saya, di Manggarai lebih seru jika dibandingkan dengan Pemilihan Bupati (Pilbup), Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Dikatakan lebih seru karena pada saat Pilkades banyak konflik yang muncul karena politik adu domba yang dilakukan oleh calon-calon pejabat desa. Di sana terjadi perang argumentasi, hujat menghujat dan perdebatan panas terutama menjelang Pilkades, yang akhirnya menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat.
Banyak keluarga yang terpecah hanya karena perbedaan pilihan politik. Misalnya orang tua memilih si A menjadi Kades, sementara anaknya memilih si B. Perbedaan tersebut seringkali merusak relasi kekeluargaan antara orang tua dengan anak.
Dampak lanjutnya, orang tua akhirnya tidak lagi merasa memiliki anak yang punya pilihan politik yang berbeda. Demikian sebaliknya, si anak tidak merasa memiliki orang tua yang memiliki pilihan politik yang berbeda dengannya.
Lebih parah lagi, ketika setelah Pemilihan Kepala Desa selesai, mereka tidak memiliki kesadaran untuk bersatu lagi sebagai satu keluarga. Mereka gengsi untuk saling meminta maaf. Padahal mereka tahu bahwa harta yang paling berharga di dunia ini adalah keluarga, bukan politik. Keluarga tak dapat digantikan oleh politik.
Saya yakin bahwa kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di Manggarai. Di daerah-daerah lain juga pasti terjadi hal yang serupa. Hanya mungkin belum pernah diulas di kompasiana. Konflik karena beda pilihan seperti itu tentu saja merusak citra politik dan demokrasi di negara ini.
Pilkades yang sejatinya sebagai kesempatan yang baik untuk memilih Kepala Desa (aktor perubahan) yang memiliki visi-misi untuk kesejahteraan masyarakat, justru menimbulkan konflik  horizontal antara masyarakat.
Apalagi masyarakat di pedesaan tidak dibekali dengan pendidikan politik yang memadai. Sehingga setiap Pemilihan Kepala Desa dalam  lima tahun sekali, pasti terjadi konflik yang sama. Sementara itu, Kepala Desa yang kemudian terpilih merasa tidak terlibat dalam konflik tersebut. Kades terpilih kemudian sibuk menghabiskan dana desa yang miliaran rupiah itu. Sedang masyarakat yang terpecah terpaksa harus menerima kenyataan pahit yang terjadi.
Lantas, kepada siapa mereka harus mengadu?
Apakah mereka harus mengadu pada Presiden sebagai kepala negara? Apakah mereka mesti melapor kepada Polisi? Ataukah memaksa Kepala Desa terpilih agar membantu mereka untuk bersatu kembali sebagai keluarga? Tentu saja, TIDAK.
Tidak ada pilihan lain selain mereka sendiri yang harus berinisiatif untuk berdamai. Presiden, Polisi, dan Kepala Desa dipilih bukan hanyak untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Mereka memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar, yakni bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Meskipun kenyataannya, kesejahteraan itu hanya dirasakan oleh pejabat yang terpilih.
Oleh sebab itu,harus ada semacam kesadaran bersama dari keluarga yang berkonflik untuk kembali membangun hubungan yang sudah retak karena politik yang tidak sehat. Lagi pula, perbedaan politik merupakan hal yang sangat wajar dalam demokrasi. Demokrasi lahir dari perbedan bukan dari persamaan.
Orang tua dan anak boleh berbeda pilihan. Namun perbedaan tersebut hendaknya tidak merusak relasi kekeluargaan yang sudah terbangun selama bertahun-tahun.
Lagi pula, Kepala Desa yang terpilih seringkali hanya mengumbar janji-janji manis. Mereka mendekati masyarakat hanya ketika diadakan Pilkades. Setelah itu, semuanya berakhir. Banyak Kepala Desa yang  tidak  memiliki program kerja yang jelas. Di Manggarai misalnya, setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan Kepala Desa, namun kehidupan masyarakat begitu-begitu saja. Masyarakat yang miskin tetap miskin dan yang kaya makin kaya, sehingga kesenjangan semakin menganga.
Akhirnya, saya mengajak pembaca untuk peduli terhadap masyarakat yang berkonflik hanya karena berbeda pilihan politik. Terutama bagi masyarakat di pedesaan yang pagi hingga malam membanting tulang dan tidak pernah mengakses informasi politik, harus dibekali dengan pendidikan politik. Mereka harus diedukasi bagaimana cara berpolitik yang yang beradab. Jangan sampai mereka menjadi korban atas politik adu domba yang dilakukan oleh calon-calon pejabat desa yang haus dan lapar akan jabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H