Tidak ada pilihan lain selain mereka sendiri yang harus berinisiatif untuk berdamai. Presiden, Polisi, dan Kepala Desa dipilih bukan hanyak untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Mereka memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar, yakni bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Meskipun kenyataannya, kesejahteraan itu hanya dirasakan oleh pejabat yang terpilih.
Oleh sebab itu,harus ada semacam kesadaran bersama dari keluarga yang berkonflik untuk kembali membangun hubungan yang sudah retak karena politik yang tidak sehat. Lagi pula, perbedaan politik merupakan hal yang sangat wajar dalam demokrasi. Demokrasi lahir dari perbedan bukan dari persamaan.
Orang tua dan anak boleh berbeda pilihan. Namun perbedaan tersebut hendaknya tidak merusak relasi kekeluargaan yang sudah terbangun selama bertahun-tahun.
Lagi pula, Kepala Desa yang terpilih seringkali hanya mengumbar janji-janji manis. Mereka mendekati masyarakat hanya ketika diadakan Pilkades. Setelah itu, semuanya berakhir. Banyak Kepala Desa yang  tidak  memiliki program kerja yang jelas. Di Manggarai misalnya, setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan Kepala Desa, namun kehidupan masyarakat begitu-begitu saja. Masyarakat yang miskin tetap miskin dan yang kaya makin kaya, sehingga kesenjangan semakin menganga.
Akhirnya, saya mengajak pembaca untuk peduli terhadap masyarakat yang berkonflik hanya karena berbeda pilihan politik. Terutama bagi masyarakat di pedesaan yang pagi hingga malam membanting tulang dan tidak pernah mengakses informasi politik, harus dibekali dengan pendidikan politik. Mereka harus diedukasi bagaimana cara berpolitik yang yang beradab. Jangan sampai mereka menjadi korban atas politik adu domba yang dilakukan oleh calon-calon pejabat desa yang haus dan lapar akan jabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H