Negara kita terdiri dari keanekaragaman suku, agama, budaya ras dan golongan. Keanekaragaman ini sebenarnya dilihat sebagai kekayaan dan bukan sebagai faktor penyebab munculnya aneka macam kekerasan seperti yang terjadi saat ini. Kalau dilihat secara lebih jauh bahwa salah satu penyebab munculnya konfklik-konflik itu adalah karena penganut agama melihat agamanya sendiri sebagai agama yang paling benar sementara agama lainnya tidak benar. Oleh karena itu, kita perlu memahami 4 fungsi agama bagi kehidupan bermasyarakat yang akan saya paparkan dalam artikel ini.
Pertama, Fungsi  EdukatifÂ
Agama memiliki fungsi untuk membimbing dan mengajar masyarakat sehingga tingkah laku mereka dapat menjadi baik dan benar. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki keterbukaan hati untuk dibina dan digembleng sesuai dengan nilai-nilai agama yang diberikan. Agama menyampaikan pengajarannya melalui petugas-petugas agama, baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, renungan, khotbah, pendalaman iman maupun di luar perayaan liturgis.
Ada banyak petugas yang bertugas untuk memberikan pengajaraan keagamaan kepada masyarakat, misalnya pendeta, imam, kyai, syaman, dan lain-lain. Orang-orang ini mengajarkan tentang kebenaran sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab-kitab yang merupakan dasar iman dari setiap agama. Contohnya Alkitab untuk umat Kristiani, al-Quran untuk umat yang beragama Islam, dan sebagainya.
Pengajaran keagamaan ini dapat dilakukan di sekolah untuk anak-anak yang sedang sekolah, di tempat-tempat ibadah untuk semua golongan, dan juga dapat dilakukan dalam bentuk seminar-seminar yang bertujuan untuk meningkatkan semangat masyarakat dalam menghayati nilai-nilai keagamaan yang didapatinya. Namun demikian, pengajaran ini dapat berhasil bukan karena orang-orang yang bertugas memberikan pengajaran secara baik. Tetapi keberhasilannya nampak ketika seluruh masyarakat mampu mengaktulisasikan nilai-nilai agama yang diajarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Adapun nilai-nilai keagamaan yang dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan. Misalnya nilai iman, moral kebaikan, kejujuran, cintakasih, keuletan dan masih banyak nilai lainnya yang pada dasarnya dapat mengarahkan kehidupan masyarakat pada arah yang lebih baik. Masyarakat memiliki kewajiban untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan ini ke dalam dirinya sehingga mereka dapat menciptakan kehidupan yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat.
Sebaliknya, masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai akan mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan dan bahkan  bakal menjadi momok yang menyebabkan munculnya aneka macam persoalan di tengah kehidupan bermasyarakat.
Kedua, Fungsi Penyelamatan
Semua anggota masyarakat memiliki kerinduan yang besar untuk mencapai keselamatan, baik untuk kehidupan sekarang maupun untuk kehidupan setelah kematian. Untuk itu, keselamatan tidak boleh dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja tetapi merupakan sesuatu yang cukup sulit tergantung bagaimana manusia menghayati kehidupan beragamanya. Jaminan untuk keselamatan hanya ditemukan dalam agama. Dalam agama diberikan pengajaran bagaimana cara untuk mencapai keselamatan itu.
Melalui agama, manusia dapat memahami "apa yang sakral" atau "makhluk yang tertinggi" atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya [Sumber1]. Melalui relasi yang intens dengan Tuhan, manusia dapat mengakui segala kesalahan di hadapan-Nya dengan cara pengampunan dan penyucian. Dengan demikian, manusia dapat merasa bahagia dan kembali bisa membangun relasi yang baik dengan Tuhan yang sakral. Relasi yang harmonis dengan Tuhan memungkinkan manusia untuk selamat dari segala bentuk kejahatan yang selalu datang silih berganti tanpa kita ketahui kapan kejahatan itu datang dan mengancam keberadaan kita.
Seorang umat beragama sangat percaya bahwa agama sanggup menghadirkan Tuhan dalam upacara-upacara keagamaan. Untuk tujuan itu agama menggunakan lambang-lambang, misalnya dalam agama Kristen diyakini bahwa titik pertemuan antara Tuhan dan manusia diwujudkan dalam tanda-tanda (lambang) yang dibuat oleh Tuhan Yesus sendiri, yang disebut sakramen-sakramen gereja yang jumlahnya ada tujuh.
Dalam perayaan sakramen-sakramen ini terjadilah perjumpaan yang mesra antara Tuhan dan manusia. Singkatnya, melalui lambang-lambang yang ada di dalam setiap agama, manusia dapat memperoleh apa yang diinginkannya, seperti persatuan dengan Tuhan, pembebasan dan penyucian diri.
Penyucian diri dilihat sebagai kebutuhan mendasar dari semua manusia. Hal ini bertolak dari sikap manusia yang seringkali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari apa yang diajarkan dalam agamanya. Tindakan menyimpang merusak hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kesadaran akan kesalahan dalam diri individu bersatu menjadi kesadaran kolektif yang hidup dalam lingkungan masyarakat, dan tindak lanjut dari upaya untuk menghapus kesalahan itu menjadi kebutuhan seluruh anggota masyarakat.
Hal tersebut sangat terbukti dari adanya upacara-upacara keagamaan untuk membebaskan diri dari segala bentuk kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya di dalam agama Kristiani diadakan upacara pemberian sakramen pertobatan, di dalam agama Islam  disediakan momen khusus untuk berpuasa, dan lain sebagainya. Semua kegiatan itu dihayati sebagai cara untuk mencapai keselamatan yang didambakan oleh semua manusia.
Ketiga, Fungsi Memupuk  Persaudaraan
Agama bersifat universal dan penganutnya terdapat dimana-mana di berbagai belahan dunia ini. Para penganut agama ini tentunya berasal dari latar belakang budaya, ras, suku, pekerjaan, status sosial, warna kulit dan golongan yang berbeda. Perbedaan dilihat sebagai kekayaan dan melalui agama semua perbedaan ini dapat disatukan dengan melakukanan hubungan horinzontal yang sangat erat.
Mungkin ada banyak orang yang menolak bahwa agama memiliki peran untuk memupuk persaudaraan. Penyangkalan mereka bertolak dari realita bahwa begitu banyak kekerasan, permusuhan yang terjadi di dunia ini karena masalah agama. Misalnya adanya pembakaran rumah-rumah ibadat, pembakaran rumah sakit dan sederetan masalah-masalah sosial lainnya yang seringkali terjadi selama ini. Hemat penulis, perspektif seperti ini perlu diubah dan kurang objektif, karena berat sebelah. Mereka hanya melihat hal-hal negatifnya saja, seakan-akan kehidupan di dunia ini hanya diisi oleh permusuhan dan tidak pernah ada kedamaian di dalamnya.
Padahal masihnya banyak orang yang tetap mengalami kedamaian dalam hidupnya. Ambil contoh di Indonesia seringkali diadakan seminar-seminar yang bertemakan dialog antaragama dan masih banyak masyarakat yang dapat menjalin hubungan yang harmonis antar umat yang berbeda agama.
Contoh-contoh tersebut itu menunjukkan bahwa selain berfungsi untuk menyelamatkan manusia, agama juga memiliki fungsi untuk memupuk rasa persaudaraan antara masyarakat Indonesia yang sangat pluralis. Melalui agama, masyakat membongkar tali perbedaan itu dan menggantikannya dengan tali persaudaraan. Masyarakat melihat orang lain khususnya umat yang berbeda agama sebagai saudara yang patut dihargai dan dihormati layaknya menghormati keluarganya sendiri.
Secara umum, penulis melihat bahwa manusia mendambakan persaudaraan dan perdamaian. Hal ini tidak perlu dibuktikan secara sosiologis karena pada dasarnya dunia tidak menginginkan perpecahan atau permusuhan melainkan persatuan dan perdamaian. Banyak usaha yang dilakukan oleh manusia untuk mewujudkan persatuan dan kedamaian itu. Tetapi hasilnya tidak selalu memuaskan karena manusia memiliki keinginan yang berbeda-beda. Ada orang yang meinginkan perdamaian dan ada juga orang yang menginginkan perpecahan. Ada juga orang yang melihat agamanya sebagai agama yang paling benar dan melihat agama yang lain tidak benar. Inilah  salah satu faktor yang  menyebabkan munculnya konfilk antara agama selama ini.
Keempat, Fungsi Transformatif
Kata transformatif berasal dari bahasa latin "Transformare", artinya mengubah bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada agama) berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama dalam bentuk kehidupan baru [Sumber 2]. Dalam pengertian ini masyarakat menggantikan nilai-nilai kehidupan lama dan menanamkan nilai-nilai baru. Misalnya masyakat primitif yang sejak lama terbentuk dalam budaya yang menganut kepercayaan animisme, yakni percaya terhadap makhluk halus atau roh yang mana mereka perpandangan bahwa benda-benda seperti pohon-pohon, gua atau batu besar memiliki kekuatan-kekutan tertentu.
Melaui agama, pola pikir masyarakat primitif seperti itu diubah. Agama mengarahkan masyarakat untuk meninggalkan kepercayaan-kepercayaan terhadap makhluk halus dan kemudian menumbuhkankan imannya bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber segala kehidupan manusia. Tuhan dipandang sebagai jawaban atas segala persoalan hidup manusia. Dengan demikian melalui kehadiran Tuhan, manusia dapat melakukan hal-hal baik dalam kehidupannya.
Hal lain yang dapat dijelaskan di sini misalnya mentalitas masyarakat yang sampai saat ini masih ada, yakni prinsip membalas dendam ketika orang berbuat salah kepadanya. Misalnya pepatah yang mengatakan "gigi ganti gigi" atau "nyawa ganti nyawa". Yang artinya kejahatan mesti dibalas dengan kejahatan.
Melalui agama mentalitas seperti itu diubah dan dibentuk kembali. Agama mengarahkan masyarakat untuk menghilangkan sikap-sikap destruktif yang sudah mengakar di dalam diri manusia. Dalam agama Kristen contohnya diberikan ajaran tentang cinta kasih, misalnya mencintai orang lain sama seperti mencintai diri kita sendiri sebagaimana yang dicantumkan di dalam Alkita
Penutup
Agama memiliki banyak fungsi dalam kehidupannya masyarakat, seperti fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi memupuk persaudaraan, fungsi transformatif, dan bahkan memiliki memiliki potensi untuk menimbulkan konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, penulis melihat bahwa di tengah situasi dunia sekarang dimana di berbagai tempat sering terjadi kekerasan, peperangan, pembunuhan dan persoalan-persolan lain, peran agama masih sangat penting, baik untuk kehidupan sekarang, kehidupan untuk masa yang akan datang dan bahkan untuk selama-selamanya.
Menghadapi aneka persoalan kemusiaan itu, masyarakat lari kepada agama, karena mereka percaya bahwa agama memiliki kesanggupan yang defenitif dalam menolong manusia. Dalam konteks ini agama dipandang sebagai jawaban atas segala persoalan hidup manusia.
Sumber Bacaan:
[1] Dadang Kahmad, H. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[2] Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI