Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Buruh - Manusia Biasa

Hidup adalah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jalan Tengah Presidential Threshold

22 Januari 2022   08:27 Diperbarui: 22 Januari 2022   08:32 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat penulis mengahdiri sidang PHP Pilkada Dompu Tahun 2015 di MK (Dokpri)

Jelang Pemilu 2024, ramai-ramai membahas tentang Presidential Threshold (PT). Bahkan ada beberapa pihak yang melayangkan uji materi ke Mahkamah Kontitusi (MK) meminta ketentuan PT itu dihapus.

Menurut catatan hingga tahun 2021, uji materi tentang PT ini telah 13 kali diajukan ke MK dan selama itu pula MK menolaknya. MK beralasan bahwa kebijakan PT merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang dapat dirumuskan oleh presiden dan DPR.

Lalu apa itu presidential threshold? Secara sederhana, presidential threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden.

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2027 Tentang Pemilu menyebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya.

Harus disadari memang, ambang batas yang telalu tinggi seperti saat ini membuat oligarki partai politik semakin tinggi, dapat memangkas jumlah calon sehingha yang muncul calon "itu-itu" saja, dan terjadinya polarisasi atau pembelahan politik yang begitu tajam. Ditambah besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang disampaikan Ketua KPK RI.

Memang tidak ada yang ideal, argumentasi-argumentasi diatas apapun sistemnya yang namanya politik kekuasaan. Polarisasi politik, politik transaksional, oligarki politik itu pasti terjadi. Sebab argumentasi dasar politik adalah kepentingan. Semua orang punya kepentingan meraih kekuasaan. Namun setidaknya dengan mendesain suatu sistem, dapat meminimalisir terjadinya hal-hal diatas.

Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk dan pemilih yang besar. Dengan alasan itu, seharusnya dibuka ruang yang luas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi calon Presiden dan Calon Wakil Presiden namun tetap dengan syarat. Syaratnya itu, dengan membatasinya melalui PT.

Namun demikian, PT hingga 0% juga tidak rasional dan proporsional. Ambang batas yang terlalu terbuka dan "vulgar" seperti ini, memberi peluang partai politik untuk "mencomot" siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi calon tanpa diketahui tanpa melihat latar belakang dan kapasitasnya oleh masyarakat.

Lalu apa solusinya? Menurut saya, jalan tengahnya adalah dengan menurunkan angka PT dengan tidak menghapusnya sama sekali atau menjadi 0%.

Jika sekarang ambang batas 20% diturunkan menjadi 10% dari jumlah kursi DPR dan 15% dari jumlah suara sah nasional. Dengan demikian, dapat mengurangi oligarki, polarisasi politik yang tajam dan meminimalisir potensi terjadinya korupsi. Pada satu sisi calon-calon yang muncul juga bisa dibatasi.

Dengan mendesain PT yang tidak terlalu tinggi, pada saat yang sama juga dapat mendesain jumlah peserta atau calon dalam Pemilu Presiden. Menurut saya, yang ideal jumlah peserta Pemilu Presiden adalah minimal 3 Pasangan Calon. Dengan begitu, polarisasi dan pembelahan ditingkat pemilih tidak begitu tajam sebagimana dengan 2 pasangan calon yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019.

Selain menurunkan PT tanpa menghapusnya, pada saat yang sama ambang Parlemetary Threshold atau ambang batas parlemen perlu dinaikkan agar partai politik jumlahnya lebih sederhana. Jika saat ini ambang batas parlemen sebesar 4% dinaikkan menjadi 5%.

Dengan mendesain jumlah partai politik yang lebih sederhana, akan memperkuat komitmen sistem presidensial. Tidak seperti selama ini, justru parlemennya yang lebih kuat. Salah satu imbas dari kuatnya parlemen adalah setiap pengambilan keputusan atau kebijakan oleh presiden sering terjadi sandera menyandera hingga "kompromi".

Memang tidak ada sistem atau desain pemilu yang sempurna disebuah negara. Akan tetapi merubah sistem atau desain pemilu disebuah negara tidaklah "haram" manakala itu untuk kemaslahatan yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun