Tak terasa, sebentar lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadhan. Suasana khas yang penuh kekhusyukan, semangat kebersamaan, dan perubahan ritme kehidupan mulai terasa. Tapi, di balik segala kemeriahan dan nuansa religiusnya, ada banyak hal yang jarang kita sadari.
Ramadhan: Antara Spiritualitas dan Perputaran Ekonomi
Banyak yang membayangkan Ramadhan sebagai bulan penuh ketenangan dan refleksi, tapi kenyataannya justru menjadi bulan dengan perputaran ekonomi yang luar biasa. Konsumsi rumah tangga meningkat tajam, harga bahan pokok naik, dan masyarakat tiba-tiba menjadi lebih konsumtif. Ironis, bukan? Padahal, bulan ini mestinya mengajarkan kita untuk menahan diri.
Coba lihat di sekitar. Warung makan, toko kelontong, hingga minimarket mulai ramai pembeli. Industri makanan dan minuman laris manis, bisnis pakaian dan perlengkapan ibadah ikut panen untung menjelang Idul Fitri. Dari sisi ekonomi, ini bagus. Tapi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, lonjakan harga bisa membuat dompet menipis lebih cepat dari yang diperkirakan.
Apakah memang itu semua makna Ramadhan yang sebenarnya? Baju baru, makanan harus serba enak? Apalagi jika kita perhatikan akhir-akhir Ramadhan yang seharusnya diisi dengan meningkatkan kualitas ibadah, justru banyak umat Muslim yang lebih fokus berburu diskon di pusat perbelanjaan. Sangat bertentangan dengan makna sebenarnya bulan Ramadhan, yaitu memperbanyak ibadah. Sayang banget kan, ketika Allah sedang memberikan obral ampunan dosa, kita malah lebih asyik dengan obral diskon. Belum lagi fenomena hordeng warteg lebih menggoda---Allah menawarkan surga, tapi kita malah memilih warteg. Coba renungkan?
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadhan." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bulan ini adalah kesempatan besar bagi kita untuk meraih ampunan dan keselamatan dari api neraka. Sangat disayangkan jika kita melewatkannya begitu saja.
Pola Konsumsi: Hemat atau Malah Boros?
Seharusnya, puasa mengajarkan kita hidup sederhana. Tapi yang terjadi justru sebaliknya---belanja makanan berbuka dan sahur malah lebih banyak dari hari-hari biasa. Kalau biasanya cukup dengan satu lauk, di bulan puasa meja makan mendadak penuh dengan aneka hidangan. Fenomena ini makin terlihat di pasar takjil yang selalu ramai menjelang magrib.
Lapar mata? Sah-sah saja sih, tapi jadi kurang afdol kalau banyak makanan yang akhirnya terbuang percuma karena kita tidak mampu menghabiskannya. Coba saja bayangkan, menahan lapar seharian, tapi saat berbuka minum air segelas saja sudah terasa kenyang. Benar nggak? Belum lagi efek kesehatan yang bisa terganggu akibat pola konsumsi makanan yang berlebihan. Sayang banget kan, jika momen Ramadhan hanya menjadi ajang euforia tanpa makna?