Pernahkah Anda melihat seseorang mengagumi mobil mewah, lalu dengan ringan berkata, "Sholawatin aja, nanti juga dapat?" Atau mendengar seseorang bercanda, "Pengen rumah kayak gitu? Rajin sholawat, Bro!"
Ungkapan ini semakin populer, meresap ke dalam keseharian kita, seolah-olah sholawat bisa menjadi alat pemikat rezeki. Namun, apakah makna sholawat memang sesederhana itu? Atau justru kita sedang menyaksikan pergeseran nilai spiritual menjadi sesuatu yang lebih bersifat transaksional?
Ketika Sholawat Dijadikan "Mantra Keberuntungan"
Dalam Islam, sholawat adalah bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Ia adalah doa, ibadah, dan ekspresi cinta yang tulus kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun, dalam praktik sosial saat ini, maknanya mengalami distorsi.
Banyak orang yang tanpa sadar mengasosiasikan sholawat dengan jalan pintas menuju kekayaan. Mereka percaya bahwa semakin sering seseorang bersholawat, semakin besar kemungkinan mendapatkan apa yang diinginkan---baik itu jabatan, harta, atau bahkan pasangan hidup.
Persoalannya, konsep ini tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran Islam. Jika sholawat dijadikan semacam "mantra keberuntungan," maka kita telah menggeser maknanya dari ibadah menuju mekanisme transaksional: aku bersholawat, maka aku berhak mendapat imbalan duniawi.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang bersholawat setiap hari tetapi tetap hidup dalam kesulitan? Apakah mereka kurang tulus? Ataukah ada pemahaman yang perlu diluruskan?
Jika sholawat hanya ingin mendapatkan dunia, maka murah sekali harga sholawat.
Islam dan Kekayaan: Boleh, Tapi Ada Aturannya
Islam tidak pernah mengharamkan kekayaan. Banyak sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang memiliki harta melimpah, tetapi mereka tetap menjaga prinsip bahwa dunia bukan tujuan utama.