Perjalanan Pribadi Melawan GERD dan Hikmah di Baliknya
GERD (gastroesophageal reflux disease) adalah salah satu pengalaman yang begitu menguras fisik dan mental saya. Perjalanan ini mengajarkan banyak hal, mulai dari menjaga pola pikir hingga meraih kembali kendali atas diri sendiri. Kisah ini adalah pengalaman pribadi saya, yang mungkin juga dialami banyak orang di luar sana.
Awal Mula GERD Menyerang
Semua dimulai dari rasa tidak nyaman di perut. Awalnya hanya seperti ada sesuatu yang mengganjal, tapi kemudian rasa itu menjalar naik ke dada dan tenggorokan. Biasanya disertai sesak napas, jantung berdebar, dan rasa cemas yang luar biasa. Kalau saya deskripsikan, rasanya seperti "mau mati."
Yang paling menakutkan adalah saat GERD menyerang tengah malam. Bayangkan, jam dua pagi saya sering terbangun dengan napas ngos-ngosan, jantung berdebar-debar, dan pikiran langsung tertuju pada satu hal: "Apa saya kena sakit jantung?" Pikiran ini semakin membuat stres, dan saat itu, sulit sekali untuk membedakan antara rasa takut yang nyata dan hanya efek dari GERD.
Berjuang Melalui Pemeriksaan di Rumah Sakit
Rasa cemas membawa saya bolak-balik ke rumah sakit untuk mencari kepastian. Namun, hasilnya selalu sama: nihil. Semua pemeriksaan menyatakan saya sehat. Tapi hati kecil saya terus gelisah: "Kalau sehat, kenapa gejala-gejala ini terus datang? Apa mungkin saya depresi?"
Saya tidak menyerah. Kali ini, saya menjalani pemeriksaan lebih lengkap, termasuk cek darah. Dari sini, akhirnya ada titik terang. Dokter mendiagnosis saya kekurangan kelenjar tiroid. Diagnosis ini membuat lega sekaligus bingung. Kekurangan tiroid ternyata bisa menyebabkan gejala seperti jantung berdebar dan rasa cemas yang sering saya alami.
Namun, ada hal yang cukup berat. Dokter mengatakan bahwa saya perlu menjalani pengobatan selama dua tahun. Dua tahun terasa seperti waktu yang panjang. Tapi karena ingin sembuh, saya mengikuti anjuran dokter dan mulai rutin mengonsumsi obat yang diresepkan.
Menyadari Obat Penenang