Berbicara dengan teman lama sering kali membuka perspektif baru, terutama soal pekerjaan. Belum lama ini, saya berbincang dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa, sebut saja namanya Riska. Percakapan ini adalah kisah nyata, potret kecil tentang kerasnya realitas dunia kerja di negeri ini.
"Ka, udah dapat kerjaan belum?" saya bertanya, mencoba memulai obrolan santai.
Dia tersenyum kecil, lalu menjawab, "Belum, Bang."
"Susah ya cari kerja sekarang?" tanya saya lagi, berusaha memahami situasinya.
Riska tertawa pelan. "Sebenarnya nggak susah, Bang, kalau mau asal kerja aja. Tapi ya gitu, gajinya di bawah UMR. Makanya aku belum ambil kerjaan apa-apa."
Jawaban itu membuat saya terdiam sejenak. Bayangkan, kita tinggal di negara yang setiap tahun ribut soal kenaikan UMR, tapi kenyataannya? Masih banyak perusahaan yang dengan santainya membayar di bawah standar. Lantas, kenaikan UMR itu sebenarnya untuk siapa?
1. Kenaikan Upah Minimum: Ritual Tahunan yang Hambar?
Setiap tahun, pemerintah sibuk menentukan kenaikan UMR. Angka persentasenya naik, sering kali disertai debat panas antara serikat buruh dan pengusaha. Namun, apakah kenaikan ini benar-benar berdampak?
Riska hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mengalami dilema ini. Banyak pekerja di sektor informal atau perusahaan kecil mengaku menerima gaji jauh di bawah UMR. Mayoritas memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan. "Mau gimana lagi, Bang? Kalau aku asal ambil kerjaan dengan gaji segitu, susah buat hidup layak," ujar Riska, menyuarakan keresahan yang mungkin dirasakan jutaan pekerja lain.
Ironi ini begitu nyata. Pemerintah menetapkan UMR untuk "melindungi" pekerja, tetapi di lapangan, banyak perusahaan merasa aturan itu sekadar formalitas. Mereka tetap menggaji seadanya, tanpa takut terkena sanksi. Jadi, kenaikan UMR ini sebenarnya untuk siapa?