Mohon tunggu...
Suherman
Suherman Mohon Tunggu... Lainnya - Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Rakyat Biasa yang Hobi Membaca dan Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Seni

Ketika Orang Awam Beropini: Kok Bisa, Cuma Lukisan saja, Ahh sudahlah!

25 Desember 2024   07:29 Diperbarui: 25 Desember 2024   12:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Pameran Karya Seni (Source: Dalle)

Beberapa waktu lalu, saya menemukan berita yang cukup mengagetkan di internet. Sebagai orang awam yang tidak terlalu paham soal seni, saya benar-benar terkejut ketika membaca bahwa ada sebuah lukisan yang baru-baru ini dilarang oleh pemerintah. Saya penasaran, apa sebenarnya yang membuat sebuah karya seni sampai harus dicekal? Rasa ingin tahu saya pun mendorong untuk mencari tahu lebih dalam.

Ketika pertama kali melihat lukisan tersebut, saya merasa bingung sekaligus terganggu. Secara visual, lukisan itu tampak mengandung unsur-unsur yang, menurut saya, agak menyerempet pornografi dan provokasi. Tapi rupanya, bukan itu saja yang membuat lukisan ini jadi perbincangan. Setelah saya mencari informasi lebih jauh, saya menemukan bahwa lukisan ini juga dianggap memiliki unsur rasisme. Salah satu tafsirnya bahkan menyebut istilah "Raja Jawa," yang langsung mengundang kontroversi.

Latar Belakang Seni dan Kontroversi Seni

Bagi banyak orang, seni adalah cara untuk mengekspresikan ide, perasaan, dan pandangan hidup. Namun, seni juga sering menjadi media untuk menyuarakan kritik sosial dan politik. Di Indonesia, kontroversi terkait seni bukanlah hal baru. Contoh lain yang pernah terjadi adalah kasus seni pertunjukan yang dianggap melecehkan agama, atau karya instalasi yang ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap budaya lokal.

Dalam sejarah seni dunia, karya-karya seperti "The Birth of Venus" karya Botticelli atau "Guernica" karya Picasso juga pernah menuai kritik karena dianggap provokatif pada zamannya. Seni sering kali menantang norma dan membuka diskusi, tetapi di sisi lain, ia juga dapat menjadi sumber ketegangan sosial.

Detail Lebih Mendalam Tentang Lukisan Kontroversial

Lukisan yang menjadi sorotan ini memiliki elemen visual yang memancing banyak interpretasi. Beberapa pihak menyoroti warna dan simbol yang digunakan sebagai metafora untuk isu-isu tertentu. Namun, yang paling kontroversial adalah kemiripan salah satu figur dalam lukisan tersebut dengan mantan Presiden Joko Widodo. Hal ini memicu pertanyaan besar: apakah ini sengaja dilakukan untuk mengolok-olok sang mantan presiden, atau sekadar interpretasi publik semata?

Tidak hanya itu, penggunaan istilah "Raja Jawa" dalam tafsir terhadap lukisan ini menambah dimensi lain dalam kontroversi. Istilah tersebut dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya menyudutkan kelompok tertentu, sementara bagi yang lain, itu hanyalah kritik sosial biasa. Perdebatan ini menunjukkan betapa seni dapat menjadi medan interpretasi yang sangat subjektif. Hal seperti ini bisa memicu perpecahan jika tidak dikelola dengan baik.

Perspektif Hukum dan Kebebasan Berkesenian di Indonesia

Kebebasan berekspresi, termasuk melalui seni, dijamin oleh hukum di Indonesia. Namun, ada batasan yang diatur, terutama ketika seni dianggap melanggar norma agama, moral, atau mengancam keharmonisan masyarakat. Pasal-pasal dalam KUHP atau Undang-Undang ITE sering digunakan untuk menindak karya seni yang dianggap melampaui batas tersebut.

Dalam kasus ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah pelarangan terhadap lukisan tersebut merupakan tindakan yang benar-benar diperlukan. Di satu sisi, pelarangan mungkin dilakukan demi menjaga stabilitas sosial. Namun, di sisi lain, apakah langkah ini tidak mengorbankan kebebasan berekspresi yang menjadi hak setiap individu?

Dampak Sosial dan Budaya Kontroversi Ini

Reaksi masyarakat terhadap lukisan ini sangat beragam. Ada yang mendukung pelarangan karena merasa lukisan tersebut tidak pantas, tetapi ada juga yang menganggap pelarangan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap seni. Media sosial menjadi medan perdebatan sengit, dengan banyak pihak saling adu argumen tentang makna seni dan batas-batas kebebasan berekspresi.

Dampak positifnya, kontroversi ini mengangkat diskusi publik tentang seni ke permukaan. Banyak orang yang sebelumnya tidak peduli dengan dunia seni, kini mulai ikut terlibat dalam pembahasan. Namun, dampak negatifnya adalah munculnya polarisasi di masyarakat, dengan kelompok-kelompok yang saling menyerang pandangan satu sama lain. Hal seperti ini bisa memicu perpecahan di masyarakat, yang seharusnya bisa dihindari.

Refleksi dan Pandangan Penulis

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah ini yang disebut seni? Apakah sebuah karya seni tidak seharusnya memberikan pesan yang positif atau, setidaknya, tidak menyinggung pihak tertentu? Entah kenapa, saya merasa seni seharusnya lebih dari sekadar kontroversi. Tetapi, yang membuat saya semakin heran adalah salah satu figur dalam lukisan itu yang, menurut banyak orang, mirip dengan mantan Presiden Joko Widodo.

Sebagai orang biasa, saya tidak bisa memahami, apa sebenarnya tujuan di balik karya seperti ini. Apa sih untungnya mengolok-olok seorang presiden, apalagi figur yang pernah memimpin negara kita? Jujur saja, saya merasa tidak nyaman. Bukankah seharusnya kita lebih menghormati pemimpin, siapapun orangnya? Ini bukan tentang Jokowi semata, tapi soal bagaimana budaya kita sering kali terlalu cepat menghujat, tanpa memikirkan dampaknya.

Sayangnya, sikap seperti ini tampaknya sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat kita. Siapapun presidennya, hujatan selalu datang dari segala arah. Entah itu dalam bentuk meme, tulisan, atau, seperti yang terjadi kali ini, lukisan. Kita sering lupa bahwa rasa aman dan kedamaian jauh lebih berharga daripada sekadar mengekspresikan kebebasan dalam bentuk karya seni yang, menurut saya, tidak mencerminkan esensi seni itu sendiri.

Kesimpulan yang Lebih Komprehensif

Sebagai orang awam, saya tidak bermaksud menilai seni secara keseluruhan. Namun, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk berpikir: apakah benar seni harus selalu menjadi alat provokasi? Atau mungkin, seni seharusnya menjadi medium untuk menyampaikan keindahan, harmoni, dan pesan-pesan yang membangun?

Mungkin saya terlalu sederhana dalam melihat seni. Tapi satu hal yang pasti, rasa aman dan kedamaian adalah kebutuhan utama kita sebagai masyarakat. Semoga ke depan, kita bisa lebih bijak dalam berkarya dan menghargai satu sama lain, tanpa harus melukai atau menyudutkan pihak tertentu. Bagaimanapun, seni seharusnya tetap menjadi sesuatu yang menyatukan, bukan memecah belah.

Disclaimer: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan sudut pandang sebagai seorang awam terhadap isu yang diangkat. Penulis tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak manapun dan menghormati berbagai perspektif yang mungkin ada terhadap topik ini. Segala interpretasi atas artikel ini adalah tanggung jawab pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun