Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puncak Kesedihan: Bahagia yang Tanpa Tujuan untuk Dibagikan

23 Januari 2025   12:12 Diperbarui: 23 Januari 2025   12:12 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kesedihan (Pexels/Inzmam Khan)

Ada ironi yang tak terelakkan dalam hidup: kebahagiaan, yang sering dianggap puncak dari semua pencarian, bisa berubah menjadi beban ketika tak ada seorang pun untuk mendengarkannya. Seperti pesta meriah tanpa tamu undangan, kebahagiaan yang tak dibagikan terasa sunyi, bahkan hampa. Pandji Pragiwaksono pernah berkata dalam Kenduri Cinta, "Kebahagiaan adalah yang dinikmati bersama." Namun, bagaimana jika kita tak punya siapa-siapa untuk diajak bersama?

Ini adalah kesedihan yang tak lagi tentang air mata, tetapi tentang kekosongan yang diam-diam menyeruak, seperti bayangan yang mengintai di balik terang. Filosofi di balik kebahagiaan semacam ini mengundang kita untuk merenung: apakah kebahagiaan benar-benar utuh jika ia tidak menjadi cerita yang hidup di antara manusia lain?

Bahagia dalam Kesunyian: Sebuah Dilema Manusia Modern

Manusia adalah makhluk sosial, demikian kata Aristoteles. Kebahagiaan, menurutnya, hanya dapat tercapai secara sempurna dalam komunitas, di mana hubungan dengan sesama menjadi cermin dari kehidupan yang bermakna. Ketika kebahagiaan tidak dibagikan, ia kehilangan dimensi sosialnya dan menjadi pengalaman yang melulu individual-hangat, tetapi tidak mengakar.

Namun, kebahagiaan yang tak dibagikan bukan hanya isu sosial. Di era yang serba cepat dan hiper-terhubung, kita terjebak dalam budaya di mana segala sesuatu, termasuk kebahagiaan, harus dipamerkan. Media sosial menjadikan kebahagiaan sebagai komoditas; tanpa likes, kebahagiaan sering kali terasa kurang sah. Ini bukan tentang berbagi, melainkan tentang validasi.

Lalu, apa yang tersisa ketika kebahagiaan tidak mendapat respons? Hanya diri kita sendiri, berhadapan dengan absurditas yang diungkapkan oleh Albert Camus: sebuah kebahagiaan yang, tanpa tujuan bersama, terasa seperti angin yang lewat tanpa bekas.

Kebahagiaan yang Terasing: Melihat ke Dalam Diri Sendiri

Camus, dalam pemikirannya tentang absurditas, memberi pelajaran berharga. Hidup, katanya, tidak menawarkan makna inheren, sehingga tugas manusia adalah menciptakan makna itu sendiri. Kebahagiaan yang tidak bisa dibagikan adalah absurditas yang mengajarkan kita untuk melihat ke dalam.

Ketika kita merasa kehilangan orang untuk berbagi, mungkin itulah undangan untuk memperdalam hubungan dengan diri sendiri. Bukankah dalam sunyi, kita bisa mendengar suara hati yang sering terabaikan? Pandji benar bahwa kebahagiaan adalah yang dinikmati bersama, tetapi mungkin, dalam beberapa momen, kebahagiaan adalah tentang berdamai dengan kesendirian.

Antara Kehampaan dan Makna Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun