Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Male Loneliness: Membedah Lelaki yang Tidak Bercerita dan Istimewanya Kursi Indomaret

7 Desember 2024   01:39 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pria (Pixabay)

Ada pemandangan menarik di sudut Indomaret yang mungkin tak pernah kita pikirkan lebih jauh: kursi plastik kecil yang sering ditempati lelaki sendirian. Dalam kesunyian, ia duduk sambil menyeruput kopi sachet atau mengisap rokok, ditemani riuh rendah lalu lintas yang tak peduli. Mungkin kita mengira ia hanya sekadar melepas penat, tetapi dalam momen itu, ada kisah yang lebih dalam tentang keheningan, isolasi, dan kerinduan akan ruang yang memahami.

Lelaki yang Tak Bercerita

Secara tradisional, lelaki sering diajarkan untuk menyembunyikan perasaannya. Ungkapan seperti "Jangan nangis, kamu laki-laki!" atau "Lelaki harus kuat" menciptakan narasi bahwa kerentanan adalah kelemahan. Dari perspektif psikologis, pola ini dikenal sebagai toxic masculinity, di mana tekanan sosial membuat lelaki menginternalisasi emosi mereka alih-alih membagikannya.

Namun, emosi yang tertahan itu tak hilang begitu saja. Seperti air dalam wadah tertutup, ia akan mencari jalan keluar, terkadang dalam bentuk kemarahan, kecemasan, atau rasa hampa yang sulit dijelaskan. Di sinilah kesunyian menjadi tempat pelarian. Kursi di sudut Indomaret menjadi metafora ruang aman--tidak meminta banyak, tidak menghakimi, hanya menyediakan tempat untuk duduk sejenak tanpa ekspektasi apa pun.

Dalam perspektif filosofis, Friedrich Nietzsche pernah berkata bahwa manusia membutuhkan kesendirian untuk benar-benar memahami dirinya. Namun, kesendirian ini berbeda dengan isolasi. Kesendirian yang sehat adalah ruang refleksi, sementara isolasi adalah penjara tak kasat mata yang dipenuhi rasa takut dan kehilangan koneksi. Kursi itu, meski sederhana, mungkin menjadi ruang transisi--tempat lelaki mencoba berdamai dengan diri sendiri di tengah keramaian yang tak memedulikan.

Mengapa Kursi Indomaret?

Kursi di depan Indomaret memiliki daya tarik yang unik. Ia tak seperti kafe mahal yang penuh ekspektasi sosial atau taman yang kerap memunculkan rasa canggung. Kursi itu netral--tanpa pretensi, tanpa penghakiman. Dalam pandangan psikologi lingkungan, tempat seperti ini menawarkan rasa anonimitas yang membebaskan.

Di sana, lelaki yang merasa terjebak dalam hiruk pikuk hidup dapat menemukan momen jeda. Sebuah jeda yang, menurut Heidegger, memberi ruang bagi Dasein--eksistensi manusia yang sadar akan dirinya sendiri. Di kursi itu, lelaki mungkin tidak sedang "menunggu seseorang" atau "melakukan sesuatu." Ia hanya ada, dan itu cukup.

Loneliness Bukan Sekadar Masalah Sosial

Kesendirian lelaki sering kali dianggap wajar. Padahal, dari sudut psikologis, rasa kesepian yang kronis bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa lelaki yang merasa kesepian memiliki risiko lebih tinggi terhadap depresi, kecemasan, dan bahkan kematian dini.

Namun, berbeda dengan perempuan yang lebih terbuka berbicara tentang emosi mereka, lelaki sering kali merasa tidak memiliki "ruang aman" untuk melakukannya. Ruang seperti kursi Indomaret menjadi pengingat bahwa lelaki membutuhkan tempat, bahkan jika itu hanya sebatas ruang fisik, untuk memproses perasaan mereka tanpa tekanan sosial.

Apa yang Bisa Dipetik?

Kursi kecil itu mengajarkan kita banyak hal. Ia adalah simbol bagaimana tempat sederhana bisa memiliki arti besar dalam hidup seseorang. Ia juga mengingatkan kita bahwa, di balik keheningan lelaki yang duduk sendirian, ada kerinduan untuk dipahami, meski tanpa kata-kata.

Di dunia yang terus bergerak, mungkin kita perlu lebih banyak ruang seperti kursi Indomaret. Ruang yang tidak menuntut, hanya ada, untuk mereka yang ingin merasa diterima--tanpa perlu menjelaskan mengapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun