Ada pemandangan menarik di sudut Indomaret yang mungkin tak pernah kita pikirkan lebih jauh: kursi plastik kecil yang sering ditempati lelaki sendirian. Dalam kesunyian, ia duduk sambil menyeruput kopi sachet atau mengisap rokok, ditemani riuh rendah lalu lintas yang tak peduli. Mungkin kita mengira ia hanya sekadar melepas penat, tetapi dalam momen itu, ada kisah yang lebih dalam tentang keheningan, isolasi, dan kerinduan akan ruang yang memahami.
Lelaki yang Tak Bercerita
Secara tradisional, lelaki sering diajarkan untuk menyembunyikan perasaannya. Ungkapan seperti "Jangan nangis, kamu laki-laki!" atau "Lelaki harus kuat" menciptakan narasi bahwa kerentanan adalah kelemahan. Dari perspektif psikologis, pola ini dikenal sebagai toxic masculinity, di mana tekanan sosial membuat lelaki menginternalisasi emosi mereka alih-alih membagikannya.
Namun, emosi yang tertahan itu tak hilang begitu saja. Seperti air dalam wadah tertutup, ia akan mencari jalan keluar, terkadang dalam bentuk kemarahan, kecemasan, atau rasa hampa yang sulit dijelaskan. Di sinilah kesunyian menjadi tempat pelarian. Kursi di sudut Indomaret menjadi metafora ruang aman--tidak meminta banyak, tidak menghakimi, hanya menyediakan tempat untuk duduk sejenak tanpa ekspektasi apa pun.
Dalam perspektif filosofis, Friedrich Nietzsche pernah berkata bahwa manusia membutuhkan kesendirian untuk benar-benar memahami dirinya. Namun, kesendirian ini berbeda dengan isolasi. Kesendirian yang sehat adalah ruang refleksi, sementara isolasi adalah penjara tak kasat mata yang dipenuhi rasa takut dan kehilangan koneksi. Kursi itu, meski sederhana, mungkin menjadi ruang transisi--tempat lelaki mencoba berdamai dengan diri sendiri di tengah keramaian yang tak memedulikan.
Mengapa Kursi Indomaret?
Kursi di depan Indomaret memiliki daya tarik yang unik. Ia tak seperti kafe mahal yang penuh ekspektasi sosial atau taman yang kerap memunculkan rasa canggung. Kursi itu netral--tanpa pretensi, tanpa penghakiman. Dalam pandangan psikologi lingkungan, tempat seperti ini menawarkan rasa anonimitas yang membebaskan.
Di sana, lelaki yang merasa terjebak dalam hiruk pikuk hidup dapat menemukan momen jeda. Sebuah jeda yang, menurut Heidegger, memberi ruang bagi Dasein--eksistensi manusia yang sadar akan dirinya sendiri. Di kursi itu, lelaki mungkin tidak sedang "menunggu seseorang" atau "melakukan sesuatu." Ia hanya ada, dan itu cukup.
Loneliness Bukan Sekadar Masalah Sosial
Kesendirian lelaki sering kali dianggap wajar. Padahal, dari sudut psikologis, rasa kesepian yang kronis bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa lelaki yang merasa kesepian memiliki risiko lebih tinggi terhadap depresi, kecemasan, dan bahkan kematian dini.