Dalam dunia politik, nama besar sering kali menjadi mata uang yang tak ternilai. Nama keluarga bisa mengantarkan seseorang ke puncak kekuasaan tanpa perlu melalui jalan terjal yang biasa ditempuh oleh politisi pada umumnya. Namun, ketika politik mulai bercampur dengan "politrick"Â Â -- trik politik licik -- nama besar ini bisa berubah menjadi senjata yang menusuk nilai-nilai demokrasi.
Nama Besar dan Legitimasinya
Nama keluarga besar dalam politik sering kali diasosiasikan dengan legitimasi, pengalaman, dan keberlanjutan. Kita bisa melihat bagaimana dinasti politik berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ketika seseorang berasal dari keluarga politisi ternama, publik cenderung memberikan kepercayaan lebih sebelum melihat kinerjanya secara nyata. Sayangnya, kepercayaan ini sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis semata.
Misalnya, anak, keponakan, atau saudara dari tokoh besar bisa tiba-tiba muncul sebagai kandidat dalam pemilihan kepala daerah, meskipun rekam jejaknya dalam dunia politik nyaris nihil. Mereka diorbitkan hanya dengan modal nama keluarga. Bagi partai politik, strategi ini adalah langkah praktis untuk memenangkan suara. Bagi keluarga itu sendiri, ini adalah cara mempertahankan pengaruh dan kepentingan.
Politrick di Balik Nama Besar
Di balik semua itu, politrick bermain. Nama besar keluarga sering dijadikan tameng untuk menutupi agenda tersembunyi. Ada yang menggunakannya untuk mengamankan proyek besar, mengontrol birokrasi, atau bahkan menghindari skandal. Politrick ini sering kali melibatkan manipulasi citra: si kandidat dipoles sedemikian rupa agar terlihat seperti "penerus sah"Â dari tokoh besar sebelumnya, meskipun kualitasnya jauh dari harapan.
Media sosial semakin memperkuat praktik ini. Dengan narasi emosional dan strategi kampanye yang memanfaatkan nostalgia, mereka menciptakan ilusi bahwa calon yang diusung memiliki kualitas setara atau bahkan lebih baik dari pendahulunya. Padahal, sering kali mereka hanyalah boneka dari kekuatan yang lebih besar di belakang layar.
Dampaknya pada Demokrasi
Ketika nama besar menjadi satu-satunya faktor penentu, meritokrasi -- sistem yang menghargai kemampuan dan prestasi -- menjadi terpinggirkan. Hal ini menciptakan siklus dinasti yang sulit dipatahkan, di mana kekuasaan terus berputar di lingkaran yang sama. Akibatnya, regenerasi kepemimpinan yang segar dan inovatif menjadi terbatas.
Lebih jauh lagi, masyarakat yang jenuh dengan politik dinasti ini cenderung menjadi apatis. Mereka merasa bahwa politik tidak lagi menjadi ruang yang adil untuk semua orang, melainkan hanya untuk mereka yang memiliki "darah biru." Kepercayaan terhadap sistem politik pun semakin luntur.