Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Mengapa Seseorang Mempertahankan Hubungan Toxic?

22 September 2024   20:02 Diperbarui: 22 September 2024   20:09 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pertengkaran dalam Hubungan (Pixabay/Fxq19910504)

hubungan yang toxic, yang di mana jika kita lihat memberikan dampak merusak, masih sering juga kita temukan banyak orang yang mamempertahankan hubungan itu. Hubungan yang seperti ini bukan hanya menguras emosi, akan tetapi bersiko besar juga bagi kesehatan mental dan juga fisik seseorang tersebut. Akan tetapi, meskipun mereka telah menyadari atas dampak dari hubungan yang toxic ini, mereka tetap memili beberapa alasan yang kuat untuk bertahan dari hubungan yang Toxic. berikut merupakan lima alasan utaman yang seringkali dijadikan faktor kenapa seseorang enggan meninggalkan hubungan yang tidak sehat, serta pembahan yang akan dimuat dengan sedikit lebih mendalam lagi terkait setiap alasan itu.

1. Ketakutan Akan Kesendirian dan Rasa Kehilangan

Salah satu alasan terbesar mengapa seseorang bertahan dalam hubungan toxic adalah ketakutan yang mendalam terhadap kesendirian. Banyak orang merasa bahwa menjadi sendiri lebih menakutkan daripada menghadapi hubungan yang tidak sehat. Ketakutan ini berakar pada persepsi bahwa hidup tanpa pasangan akan lebih menyakitkan atau kurang bermakna. Dalam masyarakat yang sering kali memprioritaskan hubungan romantis sebagai tolak ukur kebahagiaan, seseorang mungkin merasa tekanan sosial untuk tetap memiliki pasangan, meskipun itu berarti mengorbankan kesejahteraan mereka sendiri.

Di samping itu, ada rasa kehilangan yang dialami ketika seseorang harus memutuskan hubungan, terutama jika hubungan tersebut sudah berlangsung lama. Kehilangan pasangan berarti juga kehilangan rutinitas, kebiasaan bersama, dan mungkin juga koneksi sosial yang terjalin melalui pasangan tersebut. Rasa takut akan perubahan drastis ini sering kali menjadi faktor penahan yang kuat. Orang yang telah lama berada dalam hubungan toxic sering kali merasa lebih nyaman berada di situasi yang sudah mereka kenal, meskipun situasi itu tidak sehat.

2. Ketergantungan Emosional dan Psikologis

Ketergantungan emosional adalah faktor lain yang membuat seseorang sulit melepaskan diri dari hubungan toxic. Hubungan ini sering kali melibatkan pola interaksi yang tidak sehat, seperti manipulasi emosional atau kontrol, di mana salah satu pihak membuat pihak lainnya merasa tidak berharga atau tidak mampu hidup tanpa mereka. Ketergantungan semacam ini menciptakan lingkaran setan di mana korban merasa bahwa mereka membutuhkan pasangan mereka, bahkan ketika pasangan tersebut adalah sumber penderitaan.

Selain itu, ketergantungan psikologis dapat terbentuk dari rasa aman yang salah kaprah. Dalam hubungan toxic, sering kali ada momen-momen baik yang menciptakan harapan bahwa situasi akan membaik. Harapan ini membuat seseorang sulit melihat realitas penuh dari hubungan tersebut, yaitu bahwa momen-momen baik hanyalah bagian dari siklus yang tidak sehat. Akibatnya, mereka terus bertahan, berharap bahwa pasangan mereka akan berubah dan bahwa hubungan akan kembali seperti dulu.

3. Pengaruh Masa Lalu dan Nostalgia

Kenangan masa lalu bisa menjadi penahan yang sangat kuat dalam sebuah hubungan, terutama ketika hubungan tersebut memiliki awal yang bahagia. Nostalgia terhadap momen-momen indah di awal hubungan sering kali membuat seseorang sulit menerima kenyataan bahwa hubungan telah berubah menjadi toxic. Orang cenderung lebih fokus pada ingatan akan saat-saat baik, mengabaikan kenyataan bahwa hubungan tersebut saat ini tidak lagi sehat.

Bahkan, harapan bahwa pasangan akan kembali seperti dulu menjadi daya tarik kuat yang membuat seseorang terus mencoba memperbaiki hubungan. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan upaya lebih keras, pasangan mereka bisa berubah dan hubungan bisa kembali seperti semula. Namun, sayangnya, dalam hubungan toxic, harapan ini sering kali tidak realistis dan malah memperpanjang penderitaan.

4. Perasaan Bersalah dan Tanggung Jawab

Perasaan bersalah sering kali menjadi alasan seseorang bertahan dalam hubungan toxic. Ini terutama terjadi ketika pasangan toxic membuat korban merasa bahwa segala masalah dalam hubungan adalah kesalahan mereka. Dalam situasi ini, korban mulai merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan pasangan mereka, meskipun jelas bahwa mereka juga adalah korban dari perilaku tidak sehat pasangan tersebut.

Selain itu, jika ada keterlibatan anak atau komitmen jangka panjang lain, perasaan tanggung jawab terhadap keluarga bisa menjadi alasan tambahan untuk bertahan. Seseorang mungkin merasa bahwa meninggalkan pasangan adalah bentuk kegagalan pribadi atau sosial, terutama jika mereka takut dicap negatif oleh keluarga, teman, atau masyarakat. Mereka juga mungkin merasa khawatir tentang dampak perceraian atau perpisahan terhadap anak-anak atau pihak lain yang terlibat.

5. Harapan Akan Perubahan dan Optimisme Berlebihan

Seseorang yang bertahan dalam hubungan toxic sering kali memiliki harapan berlebihan bahwa pasangan mereka akan berubah. Harapan ini bisa didorong oleh janji-janji kosong dari pasangan atau sekadar optimisme yang muncul dari cinta yang mendalam. Pada titik ini, seseorang mungkin percaya bahwa jika mereka bertahan cukup lama, pasangan mereka akan melihat kesalahan mereka dan berusaha memperbaiki perilaku mereka.

Harapan ini sangat kuat terutama dalam hubungan yang melibatkan pola siklus, di mana setelah setiap konflik besar, pasangan yang toxic mungkin menunjukkan tanda-tanda perbaikan sementara. Seseorang yang bertahan sering kali melihat momen-momen ini sebagai bukti bahwa pasangan mereka sedang berubah, meskipun kenyataannya siklus kekerasan emosional atau fisik cenderung berulang.

Namun, optimisme berlebihan ini sering kali membuat seseorang menunda untuk keluar dari hubungan, meskipun tanda-tanda perubahan sejati tidak ada. Mereka terus memberikan kesempatan, meskipun hubungan tersebut sudah jelas tidak memberikan kebahagiaan atau kesejahteraan jangka panjang.

Mengatasi Hubungan Toxic: Langkah-Langkah untuk Keluar

Untuk bisa keluar dari hubungan toxic, penting untuk menyadari bahwa bertahan dalam hubungan semacam ini tidak hanya merusak kesehatan mental, tetapi juga fisik. Mengutamakan kesejahteraan diri adalah hal yang sangat penting. Bagi sebagian orang, langkah pertama adalah mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional, seperti konselor atau terapis.

Seseorang perlu memahami bahwa mereka berhak mendapatkan hubungan yang sehat dan penuh kasih. Menghadapi kenyataan bahwa pasangan tidak akan berubah, dan melepaskan harapan yang tidak realistis, adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Di samping itu, membangun kembali rasa percaya diri dan kemandirian emosional juga menjadi langkah kunci untuk lepas dari ketergantungan pada hubungan yang tidak sehat.

Kesimpulan

Bertahan dalam hubungan toxic sering kali didorong oleh berbagai faktor emosional, psikologis, dan sosial yang kompleks. Ketakutan akan kesendirian, ketergantungan emosional, nostalgia, perasaan bersalah, dan harapan akan perubahan menjadi penghalang utama. Meskipun tantangan ini besar, menyadari dan menghadapinya dengan dukungan yang tepat adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih sehat dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun